Dalam kurun waktu yang relatif singkat, banyak sekali tragedi dikalangan jurnalis yang menggemparkan dunia maya, mulai dari intimidasi hingga kasus pembunuhan. Masih banyaknya tindak kejahatan yang terjadi di kalangan jurnalis, membuat berbagai spekulasi di kalangan masyarakat, apakah benar jurnalis sudah terlindungi dengan adanya UU Pers yang berlaku?.
UU Pers No. 40 pasal 8 tahun 1999, menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan profesinya
wartawan mendapat perlindungan hukum.” Dapat dijelaskan maksud dari pasal ini, bahwa wartawan atau jurnalis dalam menjalankan profesinya jaminan untuk mendapatkan perlindungan baik
dari pemerintah mauapun masyarakat. Namun, pada kenyataannya banyak dari
kalangan wartawan atau jurnalis yang merasa jika kebebasan maupun hak nya masih
terbatas. Dan juga masih banyak nya kasus kekerasan terhadap para wartawan di
Indonesia menjadikan banyaknya spekulasi yang negatif mengenai penetapan UU
tersebut.
Dikutip dari berbagai sumber, tercatat pada tahun 2019 terjadi banyak kasus
kekerasan yang dialami oleh rekan-rekan jurnalis, data menunjukkan bahwa
sebagian kasus yang tercatat di tahun tersebut sebagian pelakunya adalah
aparat kepolisian. Hal ini tentunya patut dipertanyakan, sebab aparat
kepolisian yang seharusnya memberikan perlindungan, memelihara keamanan, dan
menegakkan hukum malah berbanding terbalik dengan apa yang para jurnalis
rasakan. Bahkan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menobatkan Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) sebagai musuh kebebasan pers pada tahun 2019 bahkan
di tahun-tahun sebelumnya.
Bukan
hanya aparat kepolisian tentunya yang menjadi momok menakutkan bagi para
jurnalis, pemerintah dan masyarakatnya sendiri turut andil dalam beberapa
kasus yang melibatkan jurnalis di Indonesia. Dari beberapa kasus pembunuhan yang
saya temui dari berbagai sumber, ternyata hampir semua kasus tersebut tidak ada
penyelesaian pasti di setiap kasusnya. Apakah ini ada campur tangan pihak
lain? Tentunya tidak bisa kita pastikan. Banyak dari jurnalis-jurnalis yang
hendak megungkap isu sosial dan isu politik yang menjadi korban kekerasan
bahkan pembunuhan di Indonesia maupun mancanegara. Ada 10 kasus pembunuhan
jurnalis di Indonesia yang menurut saya sedikit simpang siur dalam urusan
penyelesaiannya. Kita ambil contoh pada tahun 2006 terjadi kasus pembunuhan
yang dialami oleh rekan Herliyanto, beliau merupakan jurnalis dari Tabloid Delta Pos Sidoarjo. Saudari Herliyanto sendiri ditemukan tewas pada tanggal 29 April 2006 di hutan jati
Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur. Aparat kepolisian memastikan bahwa
kematian Herliyanto terkait pemberitaan kasus korupsi anggran pembangunan oleh
mantan kepala desa Tulupari. Dalam penyelidikan kasusnya, tiga orang berhasil
ditangkap. Namun, Pengadilan Negeri Sidoarjo membebaskan ketiganya dengan
dalih dua diantara tiga pelaku dianggap kurang cukup bukti, dan satu lainnya
dianggap gila. Dalam hal ini atas kematiannya, pihak manakah yang sepatutnya
disalahkan?
Potensi
Mengingat masih banyaknya kasus
kekerasan terhadap para jurnalis di Indonesia, serta penyelesaiannya yang
dianggap kurang relevan bagi para
jurnalis. Menjadikan semakin besarnya potensi terulangnya kasus-kasus tersebut
di masa yang akan datang. Di tahun 2020, menurut data kekerasan terhadap
jurnalis yang diperoleh dari pelapor yang dikumpulkan melalui situs aji.or.id (salah satu situs aliansi jurnalis independen) menunjukkan bahwa dari bulan
Januari sampai dengan Oktober tahun ini, sudah ada 19 pelapor yang melaporkan
tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Dari data yang saya lihat
sebagian kasus tersebut berkaitan dengan tindak kekerasan dan doxing, perlu
kita ketahui doxing merupakan suatu tindak pelacakan dan penyebaran atau
pembongkaran identitas pribadi berupa foto, alamat rumah, nama, dan sejenisnya tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan disebarluaskan kepada
khalayak, melalui berbagai media serta didalamnya terdapat narasi yang
sebagian mengajak ke suatu tindakan yang negatif kepada pihak yang
bersangkutan. Sungguh ironis bukan? Apakah kasus seperti ini akan terjadi
di masa-masa yang akan datang? Masih menjadi dilematis tentunya.
Dilematis
Mengenai
dampak yang ditimbulkan dari berbagai kekerasan yang terjadi di dunia
kejurnalisan, membuat sebagian orang enggan untuk menjadikan dirinya sebagai
jurnalis. Hal ini bahkan menjadi dilematis bagi generasi jurnalis selanjutnya.
Mereka bertanya-tanya, masih adakah kebebasan pers di dunia ini? Jika yang
mereka temui hanyalah kasus-kasus kekerasan yang cukup mengerikan dialami oleh
para jurnalis khususnya jurnalis tanah air.
Dengan isu-isu yang besar yang memungkinkan
membutuhkan liputan ataupun beberapa bukti di kejadian perkara, kembali membuat
para jurnalis berada dalam bayang-bayang kekerasan yang akan dialaminya. Isu
mengenai pengesahan UU Cipta Kerja, menjadikan ladang sekaligus ranjau bagi
para jurnalis tanah air. Aksi demo di berbagai penjuru Indonesia menjadikan
ladang bagi para jurnalis untuk meliput situasi dan kondisi pada aksi tersebut.
Namun, dengan adanya aksi menolak omnibuslaw ini pula menjadikan ranjau bagi
para jurnalis, untuk kembali mengulang segala bentuk tindak kekerasan baik
verbal maupun non verbal yang akan mereka alami.
Jika masih banyaknya
kasus tindak kekerasan yang dialami oleh para jurnalis dan penyelesaiannya
masih dianggap kurang relevan, maka perlu perbaikan maupun penegasan terhadap
UU Pers yang sejatinya sudah di terapkan di Indonesia. Jika tidak kembali di
pertegas, maka jangan salahkan apabila para jurnalis masih terancam kebebasannya
oleh pihak-pihak yang dibalik topengnya dicap melindungi.
Dengan demikian kita
selaku para jurnalis harus lebih memperhatikan kode etik, dan juga lebih
berhati-hati lagi dalam melakukan tindakan. Dan untuk para masyarakat, polri,
bahkan pemerintah, bisakah kalian menggunakan cara yang lebih baik selain
kekerasan untuk kami para jurnalis yang hendak mengungkap kebenaran. Apakah
haram hukumnya bagi kami para jurnalis yang ingin menyuarakan kebenaran dan
berharap kebebasan untuk kami para jurnalis yang hendak menyuarakn pendapatnya.
Jika tidak bisa, patut di pertanyakan, apakah salah pada sistem
perundang-undangannya ataukah salah orang yang menjalankannya.
Penulis: Gita Thahirah, Mahasiswa Komunikasi
Penyiaran Islam Semester 3D, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
Posting Komentar