Aku tidak mengerti kenapa orang-orang begitu lekat dengan kopi. Yang kutahu, kopi itu hanyalah minuman pahit yang identik berwarna hitam dan diminum saat hangat atau panas. Tidak lebih. Kalau diberi pilihan, aku lebih suka teh.
“Laki-laki itu ngopi! Kok ngeteh,”
kata Paman penjual gorengan dengan nada bercanda. Orang inilah yang membuatku
memikirkan hal-hal sepele seperti cara menikmati kopi dalam sebuah pembicaraan.
“Kalau kamu tahu kopi itu pahit, kamu nggak akan bicara sesuatu yang
menyakitkan orang lain,” katanya dengan bangga. Padahal prinsipnya itu tidak
cocok secara universal. Tidak sedikit orang yang ngopi tapi tidak bisa menjaga
mulutnya.
“Kalau ngikutin katamu, berarti orang
yang masih ngomong seenaknya itu yang nggak bisa memaknai kopi?”
Si Paman terkekeh kecil mendengar
logikaku. Sambil menyeruput cairan hitam dari gelas transparan miliknya, aku
yakin sekali kalau kopinya benar-benar pahit karena aku tidak melihatnya menambahkan
gula atau susu ke dalamnya, dia mengambil napas enggan kemudian berkata, “Yang
kamu bilang udah cukup nyakitin orang yang kamu maksud loh.”
Aku terkejut. Bukan karena susunan
kalimat dan diksinya yang membuat aku merasa tersentak. Bukan juga karena raut
mukanya yang secara tidak biasa terlihat sedikit lembut. Tapi aku terkejut
karena nada bicaranya yang berubah setelah menyesap sedikit kopi. Suaranya
begitu rendah. Menandakan kerendahan dan keengganan menyakiti orang lain.
Berbeda dengan suaranya yang biasa tinggi dan sombong.
Timbul kekhawatiran yang aneh dalam
kepala. Aku segera menyingkirkan pemikiran itu dan tersenyum. Begitu aku
melontarkan logika lain bahwa setiap orang boleh memaknai kopi dengan caranya
sendiri, kali ini dia malah tertawa lepas.
Pada akhirnya aku disuruh mencoba
minum kopi yang dari kemasan. Kebetulan temanku punya sebuah kafe kecil di
pinggir jalan. Besok malamnya aku pergi ke sana dan memesan satu kopi. Dari
daftar menu aku pilih secara acak dari salah satu yang paling murah. Tubruk.
Aku tertarik dengan namanya. Mungkin nanti ada sesuatu yang mengejutkan dari
nama itu.
Tempat itu sedang dalam keadaan
sepi. Aku bisa memilih tempat duduk mana saja. Karena tempatnya terbuka, jadi
aku memilih meja yang paling dalam. Baiklah, ini lumayan menyenangkan. Duduk
sendiri di sebuah meja persegi dengan tiga kursi kosong di hadapanku. Rasanya
seperti bebas. Tanpa sadar aku malah mulai menilai tempatnya dan lupa dengan
tujuan datang ke sini.
Seorang pelayan datang membawa
segelas kopi dan menyajikannya di mejaku. Aromanya mirip dengan produk kopi
perahu api yang biasa diminum Paman tukang gorengan. Tanpa basa-basi, aku
menyobek bungkus gula dan menuangkan separuh isinya ke dalam cairan hitam yang
sangat kental. Dalam seruputan pertama, suara seperti, “Hueek,” hampir keluar
dari mulutku. Itu sungguh tidak sopan kalau aku tak menelan suara itu.
Aku masih tidak mengerti kenapa
orang-orang begitu suka dengan minuman yang sangat pahit ini. Rasa asam
bercampur pahit getir membuatku khawatir dengan penyakit lambungku. Rasa tidak
suka akan minuman itu mulai berkumpul di dalam pikiran. Segala alasan yang
membuatku semakin tidak menyukai kopi sedikit demi sedikit berkumpul menjadi
satu.
Aneh. Aku lebih suka minum teh tawar
daripada ini, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suara kendaraan
bermotor, kesendirian, rasa asam, kedamaian. Aku tidak mengerti. Kenapa aku
malah menangis?
Aku langsung menyeka air mata yang
tiba-tiba turun. Hanya setetes, tapi terasa sangat memalukan kalau orang lain
melihatku yang sendirian minum kopi tiba-tiba menangis. Setelah semua,
sepertinya aku memang tidak akan bisa akrab dengan kopi. Ingin segera kuminum
susu manis untuk menghilangkan rasa pahit di lidah. Baiklah aku akan
membelinya.
Namun untuk sekarang, aku akan
menikmati sisa minuman pahit yang masih banyak ini dengan perlahan. Menikmati
kesendirian dan kegetiran hidup seperti rasa kopi tubruk yang membuatku kapok
dalam sekali teguk. Tidak buruk. Karena aku jadi menantikan rasa manis yang
akan datang di masa depan.
(Alfarabi/Fatsoen)
Beberapa bulan yang lalu (mungkin) aku lupa kapan tepatnya.
BalasHapusAlfa bertanya tentang kopi pahit yg menyakiti lidahnya, maaf baru baca ceritamu sekarang. Cobalah latte yg lebih bersahabat, bila tubruk terlalu getir untuk bisa dinikmati.
Posting Komentar