(Ilustrasi Kegiatan Praktik Ibadah Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Foto : Dokumen Istimewa)

LPM FatsOeN-Beredarnya informasi perihal program Praktik Ibadah tahun 2020 yang akan dilaksanakan secara tatap muka dalam Panduan Pelaksanaan Praktik Ibadah 2020 yang tersebar di group Whatsapp mahasiswa semester 3 (tiga) dan 5 (lima). Pasalnya dalam beberapa poin dalam panduan, dikatakan bahwasanya pertemuan program Praktik Ibadah dilaksanakan secara tatap muka dengan 10 kali pertemuan.

Saat kami menghubungi Agung, sebagai ketua program Praktik Ibadah, dia menegaskan bahwasanya tidak ada tatap muka dalam pembelajaran Praktik Ibadah. “Tidak benar (informasi tatap muka), kita tetap daring atau online,” katanya melalui pesan Whatsapp.

Perkuliahan secara daring memang diamanatkan oleh SKB (Surat Keputasan Bersama) empat menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada tahun ajaran 2020/2021, yang kemudian ditindak lanjuti oleh Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon melalui surat edaran nomor 2469/In.08/PP.00.9/2020 tentang pelaksanaan kegiatan akademik semester ganjil 2020/2021 dalam poin A ayat 2 disebutkan bahwa segala aktivitas pembelajaran dilakukan secara online.

Penulis : Sulthoni
Reporter : Sulthoni

           Aku tidak mengerti kenapa orang-orang begitu lekat dengan kopi. Yang kutahu, kopi itu hanyalah minuman pahit yang identik berwarna hitam dan diminum saat hangat atau panas. Tidak lebih. Kalau diberi pilihan, aku lebih suka teh.

            “Laki-laki itu ngopi! Kok ngeteh,” kata Paman penjual gorengan dengan nada bercanda. Orang inilah yang membuatku memikirkan hal-hal sepele seperti cara menikmati kopi dalam sebuah pembicaraan. “Kalau kamu tahu kopi itu pahit, kamu nggak akan bicara sesuatu yang menyakitkan orang lain,” katanya dengan bangga. Padahal prinsipnya itu tidak cocok secara universal. Tidak sedikit orang yang ngopi tapi tidak bisa menjaga mulutnya.

            “Kalau ngikutin katamu, berarti orang yang masih ngomong seenaknya itu yang nggak bisa memaknai kopi?”

            Si Paman terkekeh kecil mendengar logikaku. Sambil menyeruput cairan hitam dari gelas transparan miliknya, aku yakin sekali kalau kopinya benar-benar pahit karena aku tidak melihatnya menambahkan gula atau susu ke dalamnya, dia mengambil napas enggan kemudian berkata, “Yang kamu bilang udah cukup nyakitin orang yang kamu maksud loh.”

            Aku terkejut. Bukan karena susunan kalimat dan diksinya yang membuat aku merasa tersentak. Bukan juga karena raut mukanya yang secara tidak biasa terlihat sedikit lembut. Tapi aku terkejut karena nada bicaranya yang berubah setelah menyesap sedikit kopi. Suaranya begitu rendah. Menandakan kerendahan dan keengganan menyakiti orang lain. Berbeda dengan suaranya yang biasa tinggi dan sombong.

            Timbul kekhawatiran yang aneh dalam kepala. Aku segera menyingkirkan pemikiran itu dan tersenyum. Begitu aku melontarkan logika lain bahwa setiap orang boleh memaknai kopi dengan caranya sendiri, kali ini dia malah tertawa lepas.

            Pada akhirnya aku disuruh mencoba minum kopi yang dari kemasan. Kebetulan temanku punya sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Besok malamnya aku pergi ke sana dan memesan satu kopi. Dari daftar menu aku pilih secara acak dari salah satu yang paling murah. Tubruk. Aku tertarik dengan namanya. Mungkin nanti ada sesuatu yang mengejutkan dari nama itu.

            Tempat itu sedang dalam keadaan sepi. Aku bisa memilih tempat duduk mana saja. Karena tempatnya terbuka, jadi aku memilih meja yang paling dalam. Baiklah, ini lumayan menyenangkan. Duduk sendiri di sebuah meja persegi dengan tiga kursi kosong di hadapanku. Rasanya seperti bebas. Tanpa sadar aku malah mulai menilai tempatnya dan lupa dengan tujuan datang ke sini.

            Seorang pelayan datang membawa segelas kopi dan menyajikannya di mejaku. Aromanya mirip dengan produk kopi perahu api yang biasa diminum Paman tukang gorengan. Tanpa basa-basi, aku menyobek bungkus gula dan menuangkan separuh isinya ke dalam cairan hitam yang sangat kental. Dalam seruputan pertama, suara seperti, “Hueek,” hampir keluar dari mulutku. Itu sungguh tidak sopan kalau aku tak menelan suara itu.

            Aku masih tidak mengerti kenapa orang-orang begitu suka dengan minuman yang sangat pahit ini. Rasa asam bercampur pahit getir membuatku khawatir dengan penyakit lambungku. Rasa tidak suka akan minuman itu mulai berkumpul di dalam pikiran. Segala alasan yang membuatku semakin tidak menyukai kopi sedikit demi sedikit berkumpul menjadi satu.

            Aneh. Aku lebih suka minum teh tawar daripada ini, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suara kendaraan bermotor, kesendirian, rasa asam, kedamaian. Aku tidak mengerti. Kenapa aku malah menangis?

            Aku langsung menyeka air mata yang tiba-tiba turun. Hanya setetes, tapi terasa sangat memalukan kalau orang lain melihatku yang sendirian minum kopi tiba-tiba menangis. Setelah semua, sepertinya aku memang tidak akan bisa akrab dengan kopi. Ingin segera kuminum susu manis untuk menghilangkan rasa pahit di lidah. Baiklah aku akan membelinya.

            Namun untuk sekarang, aku akan menikmati sisa minuman pahit yang masih banyak ini dengan perlahan. Menikmati kesendirian dan kegetiran hidup seperti rasa kopi tubruk yang membuatku kapok dalam sekali teguk. Tidak buruk. Karena aku jadi menantikan rasa manis yang akan datang di masa depan.


(Alfarabi/Fatsoen)

(Logo Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon/whatsapp)

Situasi pandemi virus Covid-19 saat ini menimbulkan dampak di semua lini kehidupan. Dampak yang paling terasa tentu saja di bidang ekonomi di mana banyak pekerja yang kesulitan memperoleh pekerjaan sampai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bahkan pendapatan yang menurun. Sebagian besar mahasiswa, terutama yang menempuh jenjang S1 masih bergantung pada sokongan dana dari orangtua atau kerabatnya. Oleh karena itu, saat ini walaupun secara tidak langsung, pandemi Covid-19 berdampak pula pada mahasiswa. Beberapa waktu belakangan, media banyak memberitakan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di beberapa perguruan tinggi menuntut pembebasan biaya kuliah mereka, atau disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Mahasiswa menuntut keadilan dari pihak kampus agar memperhatikan kondisi ekonomi keluarga mereka yang menurun sehingga mereka terancam tidak dapat melanjutkan kuliah sampai tuntas. Pemberitaan mengenai usaha mahasiswa untuk memperjuangkan pembebasan UKT hampir diadakan di setiap kampus. Mahasiswa melakukan berbagai cara untuk bernegosiasi dengan pihak kampus, mulai dari melakukan petisi, mengumpulkan data dan dukungan melalui penyebaran kuesioner, sampai melakukan aksi dan rapat bersama dengan pihak rektorat dari kampus.

Pada tanggal 30 Juni 2020, puluhan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon melakukan aksi di depan gedung rektorat IAIN Syekh Nurjati Cirebon dengan beberapa tuntutan sebagai berikut :

    1. Mendesak Rektor untuk transparansi anggaran kampus (KKN-DR, Pengeluaran semester genap, Transparansi UKT).

       2.  Menciptakan SOP Pembelajaran Daring.

       3. Merealisasikan subsidi kuota selama 3 Bulan.

       4. Mengadakan sistem banding UKT yang dilakukan sebanyak 3x dalam satu semester.

       5. Memberikan pemotongan UKT sebesar 50% untuk mahasiswa semester akhir.

       6. Menolak SK Rektor terkait pemotongan UKT 10%.

       7. Memberikan pemotongan UKT sebesar 30% tanpa syarat untuk seluruh mahasiswa (Non-beasiswa).

            Namun, tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak birokrasi kampus, kampus kita tetap bebal dan tuli tidak mengindahkan suara dan aspirasi dari para mahasiswa.

Pertama, sampai saat ini, kampus tidak memberikan kami data mengenai transparansi anggaran kampus (KKN-DR, Pengeluaran semester genap, Transparansi UKT). Alih-alih itu adalah dokumen rahasia yang tidak boleh diberikan secara langsung kepada mahasiswa. Padahal jika mengacu pada PMA No. 36 Tahun 2014 Statuta Kampus, pada bagiaan Keempat tentang kekayaan, pada pasal 110 ayat (2) yang berbunyi “ Pengelolaan kekayaan Institut sebagaimana dimaksud pada ayat (!) dikelola secara otonom, wajar, tertib, efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan taat pada perundang-undangan”

Kedua, mengenai realisasi kuota yang diberikan oleh kampus untuk semester lalu hanya diberikan sebanyak 5GB saja, dengan prosedural yang sangat memberatkan mahasiswa. Pasalnya kampus menerapkan pemberian subsidi kuota dengan mendapatkan dalam bentuk kartu perdana dari provider dan mengambilnya secara langsung dengan mendatangi kampus. Bagi mahasiswa yang berada di luar kota, ketentuan ini dirasa memberatkan. Karena subsidi kuota yang diberikan tidak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan oleh mahasiswa dari luar kota untuk mengunjungi kampus.

Belum lagi, belum ada keputusan yang jelas mengenai pemberian susidi kuota yang akan diberikan umtuk semester ganjil mendatang. 

Ketiga, pemberian subsidi pulsa untuk mahasiswa semester 6 yang sedang melaksanakan KKN-DR tidak sesuai dengan perjanjian awal. Pihak LPPM awalnya mengatakan bahwa pemberian subsidi kuota untuk KKN-DR akan diberikan sebesar RP. 40.000,- namun yang diterima oleh mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN-DR hanya sebesar Rp. 30.000,-. Maka, dengan ini kami ingin mempertanyak perihal transparansi anggaran untuk biaya KKN-DR.

Keempat, Rektorat sama sekali memiliki itikad serius untuk memperjelas sistem banding UKT yang dilakukan tiga kali dalam satu semester.

Kelima, alih-alih membuka ruang audiensi mahasiswa untuk menindaklanjuti tuntutan pmotongan UKT 30% tanpa syarat, rektorat menerapkan kebijakan tanpa melibatkan mahasiswa, dengan menerbitkan surat edaran pemotongan 15% dengan perpanjangan waktu yang singkat, yaitu sampai dengan 14 Agustus 2020.

Kebijakan ini kami rasa belum tepat, dengan adanya kebijakan keringanan UKT 2020/2021 atas tindak lanjut Keputusan Menteri Agama nomor 515 tahun 2020 tentang Keringanan UKT pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri atas Dampak Wabah Covid-19. Meksi ada niat baik dengan keluarnya surat pemberitahuan keringanan UKT. Tapi substansinya hanya basa-basi.

Pasalnya, beberapa syaratnya begitu memberatkan mahasiswa. Pada tanggal 02 sampai 16 Juni 2020, Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon, bagian Tim Survei UKT melakukan penelitian yang menyasar 4553 mahasiswa. Ada beberapa temuan yang menyesakkan dada kita semua. Sebanyak 71% penghasilan mahasiswa menurun, 15% penghasilannya tetap, 11% tidak ada penghasilan 2% merugi dan 1% meningkat. Data kondisi ekonomi mahasiswa di masa pandemi covid-19, ekonomi yang rentan berada di kisaran 83% (menurun, tidak ada pemasukan dan merugi). Sekalipun penghasilannya tetap dan meningkat, bukan berarti pengeluarannya tidak sedikit. Lebih-lebih di masa kuliah di rumah, segala kebutuhan dan penunjang kuliah daring dibiayai sendiri oleh mahasiswa. Dengan kondisi ekonomi mahasiswa yang begitu memprihatinkan, seseorang yang tidak mempunyai nurani saja yang tidak berempati dan bersimpati.

Status pekerjaan orang yang membiayai mahasiswa di masa pandemi covid-19, tak kalah menyayat hati. Hanya sebesar 57% yang masih berdagang dan bekerja, 24% dirumahkan dan 15% lainnya, 3% gulung tikar dan 1% di PHK. Hal ini menggambarkan apa yang telah diprediksi oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Di mana status pekerjaan orang yang membiayai ini hanya setengah lebih, yang masih bekerja. Angka 57% juga akan berubah seiring berjalannya waktu, jika kita melihat bagaimana covid-19 di Indonesia belum menurun, malah naik signifikan pasca diberlakukannya New Normal.Perihal penghasilan orang yang membiayai mahasiswa di tengah covid-19. Sebesar 63% mahasiswa yang berpenghasilan 1 juta ke bawah. 21% penghasilannya 1-2 juta, 10% penghasilannya 3-4 juta dan 6% penghasilannya dibawah 5 juta. Penghasilan yang didapat semakin mengecil, tapi kebutuhan sehari-hari semakin membesar karena kebutuhan yang meski dipenuhi : tidak turunnya UKT dan lain sebagainya.

Maka sudah semestinya kampus memberikan pemotongan UKT bagi semua mahasiswa (non-beasiswa), karena hampir semua orang tua mahasiswa terdampak penurunan pendapatan ekonomi selama masa pandemi ini.


(Ari/Fatsoen)


Tahun             : 2017

Sutradara        : Jang Hoon

Produser         : Park Un-kyoung, Choi Ki-sup

Pemain           : Song Kang-ho, Thomas Kretschmann, Ryu Jun-yeol, Yoo Hae-jin, Park Hyeok-kwon,

                         Lee  Jung-eun, Choi Gwi Hwa

Penulis            : Eom Yu-Na

Durasi             : 137 menit

Produksi          : The Lamp

           

Sinopsis

Alunan irama retro menemani laju Kim Man-seob/Mr. Kim (Song Kang-ho) di jalanan kota Seoul. Deru suara mesin berpacu dengan semangatnya meraup ratusan ribu won hari ini. Didesak utang sewa tempat tinggalnya membuat ia berlipat nyali menuju Gwang-ju. Kota kecil di selatan ibukota, Seoul.

Bukan tanpa alasan. Hidupnya kini tak lagi egois. Ada putri kecilnya, Eun-jung yang butuh aliran kasih sayang dan penghidupannya. Usai wafat sang istri beberapa tahun lalu, kini Man-seob berperan ganda.

Penumpang berwarga negara asing bernama Peter (Thomas Kretschmann), bak oase di tengah carut marut kondisi ekonominya. Bagaimana tidak, bayaran 100.000 won untuk perjalanan Seoul-Gwang-ju. Bermodal bahasa Inggris seadanya, ia akhirnya mengantarkan seorang reporter asal Jerman untuk meliput kerusuhan di Gwang-ju.

Tak pernah ia duga perjalanannya ini adalah jalan menghadap medan perang. Pasalnya, Gwang-ju tengah mengalami darurat militer sejak 18 Mei 1980. Semua aktivitas politik dilarang, universitas pun ditutup dan ribuan massa berdemo menuntut kediktatoran penguasa Korea Selatan, Park Chung-hee.

Massa yang digerakkan oleh mahasiswa dipukuli, dibunuh dan difitnah secara keji atas tindakan mereka yang menolak kesewenang-wenangan. Di tengah kekacauan itu, para tentara memblokade Gwang-ju dari dunia luar, jaringan telepon terputus, wartawan lokal dilarang meliput, apalagi wartawan asing.

Namun lain bagi Peter. Dengan rasa kemanusiaan, membuatnya berani meliput ketidakadilan di Gwang-ju. Dibantu oleh pelajar bernama Jae-sik (Ryu Jun-yeol), Peter menembus kerumunan massa dan meliput situasi yang tak terjamah media itu.

Malam, 20 Mei 1980. Stasiun televisi MBC Gwang-ju dimusnahkan oleh tentara yang tengah berkuasa. Nahas, tentara yang berpakaian sipil justru memergoki aksi Peter dan mengejarnya. Pelarian dari kejaran tentara itu berujung pada wafatnya Jae-sik yang rela melindungi Peter. Sementara Mr. Kim bersama Peter berlari menyelamatkan kamera film berisi setiap rekaman kekejaman tentara.

 Menjelang pagi, tepatnya tanggal 21 Mei 1980, Mr. Kim diam-diam pulang ke Seoul untuk memenuhi janji kepada putrinya di hari Buddha. Namun hembusan angin fitnah mengarah pada warga Gwang-ju. Mr. Kim tahu betul kondisi dan perjuangan warga di sana. Lalu fitnah menggoyahkan kepulangannya ke Seoul. Warga Gwang-ju butuh pertolongannya.

Pada akhirnya, ia kembali ke Gwang-ju dan berniat membantu Peter serta warga di sana. Klimaks-nya, massa yang menyanyikan lagu kebangsaan justru ditembaki dan diseret. Para supir taksi di Gwang-ju menghalangi tank pasukan militer yang digunakan untuk menembak. Lalu mengevakuasi korban yang terluka.

Usai adegan penyelamatan itu, Mr. Kim dan Peter bergegas ke Seoul karena tentara telah mengendus bahaya darinya. Proses pelarian Mr. Kim dan Peter melibatkan beberapa mobil taksi yang dipimpin oleh Tae-seol (Yoo Hae-jin). Aksi kejar-kejaran berlangsung dramatis namun akhirnya Mr. Kim dan Peter berhasil lolos. Meski harus kehilangan nyawa beberapa supir taksi Gwang-ju.

 Berita kekejaman di Gwang-ju akhirnya tersiarkan ke seluruh dunia berkat Peter. Pada Desember 2003, Peter mendapatkan penghargaan dari pemerintah Korea Selatan atas jasanya untuk Gwang-ju. Namun partner-nya, Mr. Kim tak lagi ia temukan semenjak peristiwa Gwang-ju berakhir.

Mr. Kim diduga memalsukan namanya menjadi Kim Sa-bok (aslinya Kim Man-seob). Peter menyebutkan, perjuangannya tidak akan berhasil jika tidak ditemani dengan Mr. Kim. Sehingga ia sangat ingin bertemu dengannya lagi untuk mengucapkan terima kasih. Pada tahun 2016, Peter berhasil menemukan Kim Sa-bok. Namun ia sudah meninggal…

 

Kelebihan

A Taxi Driver berhasil meraup 7 juta penonton dalam waktu 11 hari. Film ini pun berhasil membawa Korea Selatan ke ajang OSCAR ke-90 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Selain harum di luar negeri, film ini pun menyabet banyak penghargaan film salah satunya dalam penghargaan Blue Dragon Film Award ke-38, Grand Bell Awards ke-54, Korean Culture & Entertainment Awards ke-25 dan penghargaan lainnya.

Hal itu adalah pencapaian dari kerja keras dan totalitas para aktor serta kru produksi. Meski berlatar tahun 1980-an, semua kejadian digambarkan secara nyata dan detail. Bahkan adegan kerusuhan serta kejar-kejaran yang banyak melibatkan orang banyak berhasil disajikan melalui tampilan yang apik. Film bergenre sejarah dan diangkat dari kisah nyata ini menarik kita ke dalam alur ceritanya.

Keserakahan Mr. Kim dibawakan dengan kekonyolannya. Peter hadir dengan keteguhan dan rasa kemanusiaannya. Sementara warga Gwang-ju merepresentasikan kegigihan dalam memperjuangkan hak sebagai warga negara. Ada pula adegan yang menyentuh relung sanubari. Untuk menjadi seorang pahlawan, ternyata tidak perlu jubah dan senjata. Cukup dengan kesediaan membantu sesama manusia.

 

Kelemahan

Film ini membuat kita menoleh sejenak dari hingar bingar dunia hiburan Korea Selatan yang mendunia. Ternyata dibalik itu semua, ada sisi kelam dari negeri ginseng itu. Hadir dengan genre yang berbeda dari film atau drama Korea lainnya. Film ini bisa dijadikan alternatif penyampaian sejarah kepada anak-anak khususnya. Namun dalam penayangannya butuh pendampingan dari orang dewasa. Mengingat banyak adegan berbahaya yang khawatir justru ditiru oleh anak-anak.

Bagi pembaca yang menggilai dunia hiburan Korea Selatan, film ini cocok dimasukkan dalam daftar tontonan. Selain genre-nya yang anti-mainstream, film ini akan jadi sesi perkenalan pembaca bagaimana awal mula kesuksesan negara tersebut kini. Banyak pula nilai-nilai yang disajikan dalam setiap adegannya. Bagi pembaca yang menyukai cerita romansa garapan negeri ini, film ini pas untuk ditonton. Meski tak menampilkan romantisme sepasang kekasih, tetapi kasih sayang orang tua kepada anak digambarkan indah dan sangat menyentuh hati. 




Penulis: Aida (Fatsoen)