“Perempuan
didefinisikan sebagai sosok manusia yang tengah mencari nilai-nilai di dunia
nilai, suatu dunia yang harus ada untuk mengetahui struktur ekonomi dan sosial.
Kita akan mempelajari perempuan dalam sebuah perspektif eksistensial dengan
penghormatan atas situasi totalnya.”
---
Maskulin dan
Feminim
Maskulin adalah tipe manusia manusia
absolut. Perempuan memiliki ovarium dan uterus, kekhususan ini justru memenjarakannya
dalam subjektivitasnya, melingkupinya di dalam batasan-batasan sifat alaminya.
Banyak yang mengatakan bahwa perempuan berpikir dengan kelenjarnya. Laki-laki
kadang lupa atau pura-pura bahwa anatominya juga memiliki kelenjar, seperti
testikel, juga hormon. Ia berpikir tubuhnya seperti hubungan langsung dan normal
dengan dunia, yang ia yakini dan pahami secara objektif, padahal ia menganggap
tubuh perempuan sebagai rintangan, penjara, beban, dengan segala kekhususannya.
“Perempuan adalah perempuan dengan sifat
khsusunya yang kurang berkualitas,” ujar Aristoteles, “kita harus memandang
sifat perempuan yang dimilikinya sebagai suatu ketidaksempurnaan alam”. Hal ini
disimbolkan dalam Kitab Kejadian dimana Hawa digambarkan Bossuet sebagai makhluk yang diciptakan dari “tulang rusuk” Adam.
Dengan demikian, kemanusiaan adalah
laki-laki dan laki-laki mendefinisikan perempuan bukan sebagai dirinya, namun
sebagai kerabatnya. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang mandiri. Laki-laki
adalah sang subjek, sang absolut – perempuan adalah sosok yang lain.
Perempuan
Makhluk Seksualitas
Kenyataannya,
perempuan tidak pernah dibebaskan oleh masyarakat dari kebutuhan laki-laki.
Nafsu sesksual dan hasrat untuk melanjutkan keturunan, yang mana membuat
laki-laki bergantung pada kepuasan yang didapatinya dari perempuan. Pekerja
seks komersil atau pelacur seringkali diidentikan dengan perempuan,
keberadaannya seringkali mendapatkan pandangan yang buruk di mata masyarakat,
sedangkan para laki-laki sebagai penikmat, tidak disebut sebagai orang rendahan,
karena tindakannya yang demikian tidak dianggap sebagai tindakan ammoril, hal
demikian dapat disimpulkan bahwa laki-laki sebagai penikmat, namun perempuan
yang mendapat getahnya.
Dimana-mana
setiap waktu, laki-laki seolah-olah menunjukkan kepuasaan perasaan bahwa mereka
adalah makhluk tertinggi, “Terpujilah Tuhan yang tidak menciptakan saya sebagai
perempuan,” ujar orang Yahudi dalam do’a paginya, sementara sang istri berdo’a
dalam kepasrahan “Terpujilah Tuhan karena menciptakan saya sesuai kehendak-Nya,”
Apa saja yang pernah ditulis laki-laki mengenai
perempuan, harus dicermati. Karena laki-laki berperan sebagai hakim sekaligus
penuntutnya.
Kesetaraan
adalah Ancaman!
Kemudian,
pada abad ke delapan belas, kaum laki-laki yang lebih demokratis mulai memandang
permasalahan ini secara objketif. Salah seorang dari mereka, berusaha keras
menunjukkan bahwa perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah juga manusia.
Banyak
laki-laki menghendaki hal ini terus berlangsung, tidak semuanya
mengusahakannya. Kaum konservatif borjuis memandang emansipasi perempuan adalah
ancaman tidak sedikit laki-laki yang mengkhawatirkan kompetisi feminim. Salah
satu kepentingan yang didapatkan adalah bahwa yang yang palimg hina diantara
mereka dibuat untuk merasa superior. Hal ini tidak hanya terjadi pada konsep
feminimintas, akan tetapi ras dan golongan.
Banyak
laki-laki menegaskan bahwa perempuan setara dengan laki-laki saat mereka dalam
keadaan senang dan tidak menuntut apa-apa. Sementara pada saat yang bersamaan,
mereka akan mengatakan bahwa kaum perempuan tidak akan pernah setara dengan
laki-laki. Sehingga beberapa tuntutan akan sia-sia saja. Kenyataannya, sungguh
merupakan sesuatu yang sangat sulit bagi laki-laki menyadari nilai ekstrem
diskiriminasi sosial yang tampaknya tidak begiti signifikan, tapi menimbulkan
efek yang sangat mendalam pada moral dan intelektual perempuan, sehingga muncul
dari sifat alamiahnya.
Lalu
sekarang bagaimana menghadapi permasalahan seperti itu? Dan untuk memulai
siapakah kita demi mengemukakan itu semua? Laki-laki bertindak sebagai hakim
sekaligus penutntut, begitu halnya dengan perempuan. Yang kita butuhkan adalah
malaikat, bukan laki-laki atau perempuan. Yang mampu menjelaskan bahwa nasib
perempuan tidak ditentukan oleh fisik, psikologi dan tekanan-tekanan ekonomi.
Perempuan didefinisikan sebagai sosok manusia yang
tengah mencari nilai-nilai di dunia nilai, suatu dunia yang harus ada untuk
mengetahui struktur ekonomi dan sosial. Kita akan mempelajari perempuan dalam
sebuah perspektif eksistensial dengan penghormatan atas situasi totalnya.”
Penulis : Siti Khotimah
Sumber : Simone De Beauvoir “Second Sex”
Posting Komentar