(Ilustrasi kebingungan mahasiswa dalam mengakses online class)
Hayati, mahasiswa jurusan Ilmu Hadist semester 6, mengeluhkan berjalanya kuliah daring yang dilaksanakan sejak tanggal 16 Maret 2020. Hayati kesal karena sering kehabisan kuota, ditengah berlangsungnya kuliah daring. Sebab, pada situasi pandemi Covid-19 ini berdampak pula pada pemasukan ekonomi keluarganya. Sehingga Hayati sadar diri, tidak elok rasanya dengan menurunnya pemasukan keluarga, terus-terusan meminta uang untuk kebutuhan kuota.
“Ya, mesti sering dimarahi, karena sering meminta untuk beli kuota. Mau bagaimana
lagi, agar tetap bisa mengikuti kuliah online (daring),” keluh Hayati kepada Fatsoen melalui pesan daring (31/03).
Begitu
pula dengan Laras Ayuningtyas Asri, selama tiga pekan kuliah daring berjalan,
kuota internet sepenuhnya ditanggung menggunakan dana pribadi.
“Selama
ini, ya dari dana pribadi. Tidak ada subsidi dari kampus sama sekali,” kata
Laras, panggilan akrab Laras Ayuningtyas Asri.
Kuliah Daring Semakin
Boros
Bukan
hanya Laras dan Hayati, yang mengeluhkan persoalan kuliah daring. Ria Riana, mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam, mengungkapkan keresahannya mengenai penggunaan
kuota saat kuliah daring menjadi dua kali lipat lebih boros dari biasanya.
“Kuota
itu sekarang kan udah menjadi barang wajib ya. Kita harus selalu punya kuota
dan penggunaannya itu berkali-kali lipat dari biasanya. Kayak misalnya, aku biasanya beli kuota seminggu sekali, sejak ada kuliah daring jadi seminggu
dua kali itu. Jadi lebih boros,” ujar Ria, yang sudah menginjak
semester 4.
Cerita
soal borosnya kuota juga diungkapkan oleh Sifa, mahasiswa jursan Hukum Ekonomi
Syariah. Sifa geram, karena pengeluaran untuk kuliah daring semakin banyak.
“Kalau biasanya kita terbantu oleh wifi kampus. Jadinya tidak begitu banyak
pengeluaran untuk kebutuhan kuota,” kata Sifa, mahasiswa yang berasal dari
Lampung. “Masa baru tiga pekan, saya sudah menghabiskan 100 ribu untuk
kebutuhan kuota,” sambungnya kesal.
Tidak Efektifnya Kuliah Daring
Selain
persoalan kuota, mahasiswa juga mengeluhkan berjalannya kuliah daring. Laras,
mahasiswa yang berasal dari Indramayu mengatakan perkuliahan daring berjalan
kurang efektif, karena sistemnya yang tidak tertata dengan baik. Banyak grup
diskusi kelas daring yang diisi dengan bercandaan dan presentasi hanya berupa
teks saja. “Apa yang kami dapatkan, kalau hanya begitu saja,” keluh Laras.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Mohammad Dehya Affinas, mahasiswa semester 4 jurusan Hukum
Ekonomi Syariah. “Banyak dosen, gak semuanya ya, yang kuliah online (daring), sekedar
ngasih tugas nyerahin ke Pj-nya, udah dibiarin gitu aja. Tidak ada diskusi atau
semacamnya,” katanya melalui pesan suara (06/04).
“Juga,
penjelasannya tidak detail. Saya sendiri, juga teman-teman saya banyak yang mengeluhkan
banyak tidak paham terkait materi yang disampaikan,” sambung Dehya.
Dehya
menuturkan, selain soal tidak jelasnya materi-materi yang disampaikan, ia mengomentari terkait jaringan internet yang belum merata di Indonesia. Akhirnya,
tidak sedikit mahasiswa yang ketinggalan materi karena jaringan internet di
daerahnya buruk.
Rektor IAIN Syekh Nurjati,
Sumanta, mengatakan Surat Edaran Rektor bersifat dinamis mengikuti situasi dan
kondisi serta merujuk pada Surat Edaran. Tidak efektifnya kuliah daring karena banyak kendala.
“Perkara
pembelajaran online (daring) selama beberapa pekan lalu, rektor mengevalusi kinerja
dosen dan memberikan himbauan yang mengarah pada efektivitas pembelajaran dan
tidak memberatkan mahasiswa,” tandasnya.
Menuntut Subsidi Kuota
Bagi
Hayati (21) atas banyak permasalahan, khusunya terkait kuota menuntut agar
kampus memberikan subsidi. “Memenuhi fasilitas kuota online (daring) sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas fasilitas dalam proses perkuliahan,” katanya.
Masih
kata Hayati, sebab kita sudah membayar UKT. Selama kuliah daring, kita tidak
menikmati fasilitas apapun di kampus sebagaimana kuliah biasa. Makanya, perlu
adanya subsidi atas UKT kita yang tidak terpakai itu.
Begitu
juga kata Laras, ia berharap pihak kampus memberikan kuota atau pulsa gratis
selama perkuliahan online ini berlangsung. Bahkan, Ia membandingkan dengan
beberapa kampus lain yang telah mendapatkan kompensasi kuota atau pulsa gratis
dari pihak kampus masing-masing.
“Kan
kalau kampus lain dapet yah, bukan katanya lagi, emang dapet. Contohnya aja Akper M*********h. Setiap mahasiswanya
dapat 75 ribu, dapet untuk kuota internet selama masa kuliah daring. Mohon
untuk bapak rektor, tolonglah mengerti. Kan kami bayar UKT itu untuk fasilitas,
mohon dong fasilitasnya uang kuota itu aja,” tutur Laras saat diwawancarai
melalui pesan daring.
Hal
senada juga disampaikan oleh Dehya, “Beli kuota kan tidak pakai daun, harus
pakai uang. Masa kita mengeluarkan uang banyak, padahal kita sudah membayar
UKT. Jadi, harusnya kampus memberikan subsidi kuota kepada mahasiswa.
Lebih-lebih dalam surat edaran Dirjen Pendidikan Islam dalam poin C, kampus
wajib memberikan kuota atau free access.
Harus Mematuhi Surat
Edaran
Agung
Jazuli, advokat Lembaga Bantuan Hukum Cirebon mengatakan bahwa kewajiban kampus
adalah memberikan pengajaran. Bagaimanapun metode dan teknisnya. Lebih-lebih
yang diamanatkan oleh surat edaran Dirjen Pendidikan Kementrian Agama perihal
kelas daring dan pemberian kuota atau free
access. Bukan hanya kuliah onlinenya saja yang dilaksanakan, tapi juga
pemberian kuota atau free access. Patuhi
semua poin yang tertuang dalam surat edaran, tidak hanya sebagian.
“Itu
hak mahasiswaa, karena mahasiswa telah memenuhi kewajibannya, yakni membayar
UKT,” kata Agung. “Juga, sebagai lembaga yang sifatnya hirarkis, mesti taat
terhadap kebijakan di atasnya, yakni Kemenag.” Sambungnya.
Masih Menunggu Provider
Warek
1, Saefuddin Zuhri menanggapi tentang kuota gratis atau free access bahwa ia
telah mendaftarkan ke IDREN (Indonesia Research and Education Network) untuk
bisa menggunakan akses yang free dari Telkomsel dan Indosat. Namun, untuk
sementara ditutup karena sedang
dievaluasi. Untuk saat ini yang sudah masuk baru 130 Perguruan Tinggi. Termasuk
teman-teman dari PTKIN lainnya, diantaranya ada UIN Padang, UIN Jakarta, UIN
Bandung, UIN Yogyakarta, dan UIN Palembang.
Terkait
keluhan mahasiswa mengenai kuota boros diperkuliahan daring itu tergantung
bagaimana teknis media pembelajaran daring yang dipilih oleh setiap dosen.
Apakah menggunakan aplikasi zoom, youtube, atau aplikasi lainnya, yang memerlukan
akses internet lebih. “Dari situ bisa saya sampaikan kepada para dosen agar
tidak terlalu sering memakai media tersebut,” katanya.
Saat
ditanya bagaimana mekanisme kampus memberikan kuota atau free acses. Alih-alih mematuhi amanat surat edaran. Warek satu
malah berdalih menginginkan adanya bukti terlebih dahulu, “Saya menginginkan
data dan fakta mengenai keluhan terkait boros kuota itu agar bisa ditindak
lanjuti” ujar Saefuddin Zuhri ketika diwawancarai melalui telepon.
Juga
melemparkan ke pihak lain, “Free access
kuota ini bukan domainnya saya, tetapi ini merupakan kewenangannya Warek 2 dan
biro AUAK,” tandasnya.
Kami
menghubungi Warek 2 untuk memverifikasi sampai sore tadi, tidak ada tanggapan
sama sekali, hanya dibaca saja. Begitu pula rektor, tidak menanggapi pesan yang
diberikan oleh reporter kami.
Penulis:
Linah Sapitri, Sulthoni
Reporter:
Ade Rahmawati, Nurul Chotimah, Linah Sapitri, Sulthoni
Ilustrasi: Fauzan Alfani Suhendar