Pamflet berisi tuntutan mahasiswa imbas dicabutnya Edaran tentang pemotongan UKT oleh Dirjen Pendis Kemenag.
(Dok. Dema FITK)

Kegeraman mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon atas bebalnya Rektor yang tidak kunjung merealisasikan aspirasi mahasiswa, mengakibatkan mereka melakukan protes online yang disebarkan melalui media sosial. “Kami melakukan aksi online karena menanggapi pencabutan Surat Edaran tentang diskon UKT oleh Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis),” kata Rohmawan, ketua Senat Mahasiswa Institut kepada Fatsoen. “Juga, aspirasi mahasiswa terkait kuliah online yang tak kunjung direalisasikan oleh Rektor,” sambungnya (26/04).

Masih kata Mawan, sapaan akrab Rohmawan, sebagai rektor yang seharusnya berpihak pada mahasiswa atas dampak adanya Covid-19, dimana penghasilan ekonomi para orang tua menurun. Maka rektor harusnya hadir membela mahasiswa yang kesusahan ekonominya untuk memberikan diskon UKT.

Aksi online yang memprotes bebalnya sikap rektor juga dibenarkan oleh Abdel Aziz, ketua Himpunan Mahasiswa Bahasa Indonesia (Himabi), bahwa keterlibatan Himabi dalam aksi online karena berbagai langkah sudah ditempuh, tapi tidak kunjung digubris dengan bijak oleh rektor.

“Aksi online ini bentuk membela kebenaran, makanya Himabi hadir sebagai wujud kepedulian terhadap kampus. Khusunya jurusan kami sendiri,” Kata Abdel, mahasiswa semester 4.

Perlu diketahui, bahwa sebelumnya Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) melalui surat edaran B-752/DJ.I/HM.00/04/2020 memberikan diskon UKT kepada PTKIN. Kemudian pada tanggal 20 April 2020, melalui surat nomor B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020 Dirjen Pendis mencabut dikson UKT dengan dalih adanya pemangkasan anggaran oleh Kemenkeu. Pencabutan itulah yang menjadi puncak kekecewaan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Seperti yang diungkapkan oleh Rizaldi Shofar, mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia semester 4, “Mana keberpihakan dari rektor? Sudah diskonnya hanya 10%, dicabut pula,” katanya kesal. Pun Rizaldi, sapaan akrabnya menanyakan perihal bantuan subsidi kuota yang tidak kunjung diberikan oleh kampus semenjak surat edaran Dirjen Pendis dikeluarkan satu bulan yang lalu. Maka, dirinya menyuarakan keresehannya dengan memposting tuntutan pamflet di status Whatsapp miliknya.

Status whatsapp milik salah satu mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Saat ditanya sampai kapan aksi online ini berjalan, Mawan mengungkapkan, “Sampai kita menang!” ungkapnya.

Kemudian Mawan mengharapkan agar birokrasi kampus satu suara dengan mahasiswa, terutama dalam menyikapi surat edaran pencabutan diskon UKT. Sebab, kata Mawan, kampus mesti memahami situasi dan kondisi saat ini karena adanya wabah. Sementara Rizaldi berpesan kepada birokrasi kampus agar menjaga kepercayaan mahasiswa kepada mereka dengan merealisasikan tuntutan mahasiswa.

Adapun ada 6 tuntutan yang diajukan mahasiswa:
-  Segera menyatakan sikap dan informasi publik mengenai pencabutan Dirjen Pendidikan Islam
   tentang pengurangan UKT/SPP PTKIN
-  Segera realisasikan bebas akses atau subsidi kuota internet untuk kuliah daring.
-  Segera evaluasi keefektifan dosen dalam melakukan sistem pembelajaran daring.
-  Segera realisasikan kejelasan mekanisme pelayanan untuk mahasiswa tingkat akhir.
-  Segera realisasikan bebas UKT bagi mahasiswa tingkat akhir di awal semester 2020/2021.
 Segera realisasikan kepastian KKN di Rumah.



Penulis: Sulthoni
Reporter : Sulthoni
(Ilustrasi kegiatan perkuliahan)


Pada tanggal 27 Maret 2020, Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I) mengeluarkan Maklumat atas respon terhadap surat edaran Rektor No.B-0546/In.08/R/PP.00.9/03/2020 tentang perpanjanjangan kuliah daring dan memberikan kuota atau free access bagi mahasiswa dan civitas akademika. Maklumat yang diberikan kepada 9 jajaran yang ada di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, di antaranya:  Rektor,  Wakil Rektor, Kepala Biro AUAK, Kepala Bagian Akademik, Dekan Fakultas, Wadek I Fakultas, Kabag TU Fakultas, Ketua Jurusan dan Bapak/Ibu Dosen. Maklumat itu lahir atas aspirasi mahasiswa yang di tampung oleh SEMA-I.

“Betul, kami memberikan maklumat yang berisi 4 tuntutan. Secara ringkas keresahan mahasiswa tentang tidak efektifnya kuliah daring dan tidak kunjungnya diberikan kuota atau free access oleh kampus,” Kata Rohmawan, ketua SEMA-I periode ini.

Masih kata Rohmawan, "dalam sistem perkuliahan daring ini banyak sekali kendala yang dihadapi oleh mahasiswa diantaranya adalah jaringan internet yang tidak stabil dan memerlukan biaya tambahan untuk kuota internet yang menjadi kebutuhan mahasiswa, sehingga kami membutuhkan free access internet untuk mengakses situs-situs kampus seperti smart campus, e-learning, dll. dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing."

Hal itu dibenarkan oleh Laras Ayuningtyas Asri, mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Laras (20) mengatakan perkuliahan online berjalan kurang efektif, karena sistemnya yang tidak tertata dengan baik. Banyak grup diskusi kelas daring yang diisi dengan bercandaan dan presentasi hanya berupa teks saja.

Rohmawan mengatakan, dari empat poin dalam maklumat SEMA-I belum ditindaklanjuti oleh pihak pemangku kebijakan yang bersangkutan. SEMA-I akan terus memfollow-up dengan cara menghubungi leading sector terkait. Hal ini sesuai pernyataan rektor bahwasannya akan lebih maksimal apabila dikomunikasikan langsung dengan leading sector, ungkap ketua umum SEMA-I.

Rohmawan berharap pihak birokrat lebih responsif dalam menyikapi kondisi saat ini. “Benar, bahwasannya maklumat tersebut belum ditindaklanjuti,” tandasnya.

Kami mencoba menghubungi Rektor untuk mempertanyakan, kenapa aspirasi mahasiswa belum juga ditindaklanjuti. Tapi Rektor tidak menangapi pesan dari kami.


Penulis: Sulthoni
Reporter: Linah Sapitri, Sulthoni
Ilustrasi: Fauzan Alfani Suhendar
(Ilustrasi by Alfan)


Semenjak surat edaran Dirjen Pendidikan Islam Kemenang nomor  697/03/2020 tentang perpanjangan kuliah online dan pemenuhan kuota atau free acses bagi mahasiswa dan civitas akademika diterbitkan. Birokrasi kampus belum sepenuhnya melaksanakan surat edaran tersebut. Hal itu bisa dilihat dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Rektor IAIN nomor B-0572/In.08/PP.00.9/03/2020, yang ada 24 poin. Tidak ada satupun poin yang menyinggung perihal pemberian kuota atau free acses untuk mahasiswa dan civitas akademika.

“Secara hukum surat edaran mengikat bagi institusi yang menerima. Jadi menurutku, kampus harus tunduk terhadap seluruh poin surat edaran, bukan cuma sebagian,” Kata Agung Jazuli, yang aktif dalam Lembaga Bantuan Hukum Cirebon melalui pesan Whatsapp (07/04).

Agung menjelaskan lebih jauh, logika hukumnya, kewajiban mahasiswa sudah dilakukan melalui pembayaran uang kuliah. Hak mahasiswa mendapatkan pengajaran dari kampus, apapaun metodenya ya itu kewajiban kampus. Lebih-lebih ada surat edaran, yang mesti ditaati.

Tidak taatnya birokrasi kampus terhadap surat edaran selain dari Surat Edaran Rektor, juga dibenarkan oleh Senat Mahasiswa Institut (SEMA-I), “kami sudah memberikan surat maklumat untuk segera dipatuhi, tapi tidak kunjung ditaati,” kata  Rohmawan, mahasiswa asal Indramayu.

Mawan, panggilan akrab Rohmawan menuturkan, “Kami akan terus mengawal Surat Edaran dari Dirjen Pendidikan Islam ini sampai semuanya terlaksana,” katanya.

Atas bebalnya birokrasi kampus yang tidak taat terhadap surat edaran, “Laporkan ke Dirjen pendidikan tinggi kemenag. Biar nanti ada punishment kepada kampus untuk melaksanakan surat edaran sepenuhnya,” tandasnya.

Kami mencoba menghubungi Sumanta, Rektor IAIN Syekh Nurjati. Tapi sampai berita ini ditulis, Sumanta tidak memberikan tanggapan.


Penulis: Sulthoni
Reporter: Linah Sapitri, Sulthoni

(Ilustrasi kebingungan mahasiswa dalam mengakses online class)

Hayati, mahasiswa jurusan Ilmu Hadist semester 6, mengeluhkan berjalanya kuliah daring yang dilaksanakan sejak tanggal 16 Maret 2020. Hayati kesal karena sering kehabisan kuota, ditengah berlangsungnya kuliah daring. Sebab, pada situasi pandemi Covid-19 ini berdampak pula pada pemasukan ekonomi keluarganya. Sehingga Hayati sadar diri, tidak elok rasanya dengan menurunnya pemasukan keluarga, terus-terusan meminta uang untuk kebutuhan kuota.

“Ya, mesti sering dimarahi, karena sering meminta untuk beli kuota. Mau bagaimana lagi, agar tetap bisa mengikuti kuliah online (daring),” keluh Hayati kepada Fatsoen melalui pesan daring (31/03).

Begitu pula dengan Laras Ayuningtyas Asri, selama tiga pekan kuliah daring berjalan, kuota internet sepenuhnya ditanggung menggunakan dana pribadi.

“Selama ini, ya dari dana pribadi. Tidak ada subsidi dari kampus sama sekali,” kata Laras, panggilan akrab Laras Ayuningtyas Asri.

Kuliah Daring Semakin Boros
Bukan hanya Laras dan Hayati, yang mengeluhkan persoalan kuliah daring. Ria Riana, mahasiswa jurusan Hukum Keluarga Islam, mengungkapkan keresahannya mengenai penggunaan kuota saat kuliah daring menjadi dua kali lipat lebih boros dari biasanya.

“Kuota itu sekarang kan udah menjadi barang wajib ya. Kita harus selalu punya kuota dan penggunaannya itu berkali-kali lipat dari biasanya. Kayak misalnya, aku biasanya beli kuota seminggu sekali, sejak ada kuliah daring jadi seminggu dua kali itu. Jadi lebih boros,” ujar Ria, yang sudah menginjak semester 4.

Cerita soal borosnya kuota juga diungkapkan oleh Sifa, mahasiswa jursan Hukum Ekonomi Syariah. Sifa geram, karena pengeluaran untuk kuliah daring semakin banyak. “Kalau biasanya kita terbantu oleh wifi kampus. Jadinya tidak begitu banyak pengeluaran untuk kebutuhan kuota,” kata Sifa, mahasiswa yang berasal dari Lampung. “Masa baru tiga pekan, saya sudah menghabiskan 100 ribu untuk kebutuhan kuota,” sambungnya kesal.

Tidak Efektifnya Kuliah Daring
Selain persoalan kuota, mahasiswa juga mengeluhkan berjalannya kuliah daring. Laras, mahasiswa yang berasal dari Indramayu mengatakan perkuliahan daring berjalan kurang efektif, karena sistemnya yang tidak tertata dengan baik. Banyak grup diskusi kelas daring yang diisi dengan bercandaan dan presentasi hanya berupa teks saja. “Apa yang kami dapatkan, kalau hanya begitu saja,” keluh Laras.

Hal senada juga diungkapkan oleh Mohammad Dehya Affinas, mahasiswa semester 4 jurusan Hukum Ekonomi Syariah. “Banyak dosen, gak semuanya ya, yang kuliah online (daring), sekedar ngasih tugas nyerahin ke Pj-nya, udah dibiarin gitu aja. Tidak ada diskusi atau semacamnya,” katanya melalui pesan suara (06/04).

“Juga, penjelasannya tidak detail. Saya sendiri, juga teman-teman saya banyak yang mengeluhkan banyak tidak paham terkait materi yang disampaikan,” sambung Dehya.

Dehya menuturkan, selain soal tidak jelasnya materi-materi yang disampaikan, ia mengomentari terkait jaringan internet yang belum merata di Indonesia. Akhirnya, tidak sedikit mahasiswa yang ketinggalan materi karena jaringan internet di daerahnya buruk.

Rektor IAIN Syekh Nurjati, Sumanta, mengatakan Surat Edaran Rektor bersifat dinamis mengikuti situasi dan kondisi serta merujuk pada Surat Edaran. Tidak efektifnya kuliah daring karena banyak kendala. 

“Perkara pembelajaran online (daring) selama beberapa pekan lalu, rektor mengevalusi kinerja dosen dan memberikan himbauan yang mengarah pada efektivitas pembelajaran dan tidak memberatkan mahasiswa,” tandasnya.

Menuntut Subsidi Kuota
Bagi Hayati (21) atas banyak permasalahan, khusunya terkait kuota menuntut agar kampus memberikan subsidi. “Memenuhi fasilitas kuota online (daring) sebagai bentuk pertanggungjawaban atas fasilitas dalam proses perkuliahan,” katanya.

Masih kata Hayati, sebab kita sudah membayar UKT. Selama kuliah daring, kita tidak menikmati fasilitas apapun di kampus sebagaimana kuliah biasa. Makanya, perlu adanya subsidi atas UKT kita yang tidak terpakai itu.

Begitu juga kata Laras, ia berharap pihak kampus memberikan kuota atau pulsa gratis selama perkuliahan online ini berlangsung. Bahkan, Ia membandingkan dengan beberapa kampus lain yang telah mendapatkan kompensasi kuota atau pulsa gratis dari pihak kampus masing-masing.

“Kan kalau kampus lain dapet yah, bukan katanya lagi, emang dapet. Contohnya aja Akper M*********h. Setiap mahasiswanya dapat 75 ribu, dapet untuk kuota internet selama masa kuliah daring. Mohon untuk bapak rektor, tolonglah mengerti. Kan kami bayar UKT itu untuk fasilitas, mohon dong fasilitasnya uang kuota itu aja,” tutur Laras saat diwawancarai melalui pesan daring.

Hal senada juga disampaikan oleh Dehya, “Beli kuota kan tidak pakai daun, harus pakai uang. Masa kita mengeluarkan uang banyak, padahal kita sudah membayar UKT. Jadi, harusnya kampus memberikan subsidi kuota kepada mahasiswa. Lebih-lebih dalam surat edaran Dirjen Pendidikan Islam dalam poin C, kampus wajib memberikan kuota atau free access.

Harus Mematuhi Surat Edaran
Agung Jazuli, advokat Lembaga Bantuan Hukum Cirebon mengatakan bahwa kewajiban kampus adalah memberikan pengajaran. Bagaimanapun metode dan teknisnya. Lebih-lebih yang diamanatkan oleh surat edaran Dirjen Pendidikan Kementrian Agama perihal kelas daring dan pemberian kuota atau free access. Bukan hanya kuliah onlinenya saja yang dilaksanakan, tapi juga pemberian kuota atau free access. Patuhi semua poin yang tertuang dalam surat edaran, tidak hanya sebagian.

“Itu hak mahasiswaa, karena mahasiswa telah memenuhi kewajibannya, yakni membayar UKT,” kata Agung. “Juga, sebagai lembaga yang sifatnya hirarkis, mesti taat terhadap kebijakan di atasnya, yakni Kemenag.” Sambungnya. 

Masih Menunggu Provider
Warek 1, Saefuddin Zuhri menanggapi tentang kuota gratis atau free access bahwa ia telah mendaftarkan ke IDREN (Indonesia Research and Education Network) untuk bisa menggunakan akses yang free dari Telkomsel dan Indosat. Namun, untuk sementara  ditutup karena sedang dievaluasi. Untuk saat ini yang sudah masuk baru 130 Perguruan Tinggi. Termasuk teman-teman dari PTKIN lainnya, diantaranya ada UIN Padang, UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Yogyakarta, dan UIN Palembang.

Terkait keluhan mahasiswa mengenai kuota boros diperkuliahan daring itu tergantung bagaimana teknis media pembelajaran daring yang dipilih oleh setiap dosen. Apakah menggunakan aplikasi zoom, youtube, atau aplikasi lainnya, yang memerlukan akses internet lebih. “Dari situ bisa saya sampaikan kepada para dosen agar tidak terlalu sering memakai media tersebut,” katanya.

Saat ditanya bagaimana mekanisme kampus memberikan kuota atau free acses. Alih-alih mematuhi amanat surat edaran. Warek satu malah berdalih menginginkan adanya bukti terlebih dahulu, “Saya menginginkan data dan fakta mengenai keluhan terkait boros kuota itu agar bisa ditindak lanjuti” ujar Saefuddin Zuhri ketika diwawancarai melalui telepon.

Juga melemparkan ke pihak lain, “Free access kuota ini bukan domainnya saya, tetapi ini merupakan kewenangannya Warek 2 dan biro AUAK,” tandasnya.

Kami menghubungi Warek 2 untuk memverifikasi sampai sore tadi, tidak ada tanggapan sama sekali, hanya dibaca saja. Begitu pula rektor, tidak menanggapi pesan yang diberikan oleh reporter kami.




Penulis: Linah Sapitri, Sulthoni
Reporter: Ade Rahmawati, Nurul Chotimah, Linah Sapitri, Sulthoni
Ilustrasi: Fauzan Alfani Suhendar