Mahasiswa KKN RDR 75 saat menjadi mubaligh dadakan dalam acara peringatan maulid nabi. (Dok. Lala)

Semarang,- Maulid Nabi merupakan acara peringatan lahirnya Nabi Muhammad SAW yaitu tanggal 12 Rabi'ul Awal yang tahun ini jatuh pada tanggal 29 Oktober 2020. Antusias  kaum muslim dalam menyambut acara ini sangatlah besar. Tidak terkecuali dengan anak-anak  di TPQ Al-Mubaroq  RW 03 Kelurahan Gondoriyo Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.

 Tahun ini ditengah pandemi tidak menyurutkan semangat  dalam Peringatan Hari Besar ini, terbukti dengan diadakannya acara Peringatan Maulid Nabi yang berlangsung pada tanggal 10  November 2020 yang bertempat di TPQ Al-Mubaroq.

Acara ini dilaksanakan diwaktu selepas dzuhur dan di mulai dengan pembacaan Berzanji Ad- Diba’i oleh anak-anak TPQ, kemudian di lanjut dengan penampilan pentas seni dari santri TPQ, dan dilajutkan dengan acara inti yaitu Moidzohtul Hasanah oleh Nur Burhanddin. Beliau merupakan mahasiswa KKN RDR angkatan 75 UIN Walisongo Semarang.

 Dalam ceramahnya Nur Burhanudiin menyampaikan pentingnya meneladani sikap dari pada Nabi Muhammad SAW.  Beliau juga mengajarkan kepada santri TPQ tentang bagaimana mencintai Rasulullah SAW.

 “Hargailah masa lalu, hargailah masa yang akan menjadi masa lalu, Insya allah masa depan akan menghargai” katanya. Menurutnya belajar sejarah kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW sangatlah penting, dengan itu kita dapat mempraktekan perilaku Nabi Muhammad SAW di masa sekarang.

Dalam wawancaranya Nur Burhanuddin mengatakan “ untuk mempersiapkan materi tersebut saya membutuhkan waktu dalam satu hari dan perasaan saya sangat senang karena bisa berbagi ilmu dengan anak-anak TPQ”.

Bu Aminah selaku pengasuh TPQ Al-Mubaroq menyampaikan bahwasanya Tim KKN Reguler DR- 75 kelompok 64 mmberikan kontribusi dan bermanfaat pada acara peringatan Maulid Nabi tahun ini.

“Tim KKN Reguler DR-75 Kelompok 64 saya kira mempunyai manfaat sangat besar terutama dalam berlangsungnya acara hari ini, dimulai dari persiapan hingga pengisi acara. saya berterimakasih kepada mas Burhan yang sudah bersedia menjadi pembicara kali ini” ujarnya.

Acara peringatan maulid ini ditutup dengan pembacaan doa. Anak- anak mengikuti acara ini dengan khidmat dan sangat antusias.

(Lala Afiatul Latifah  Mahasiswa Akuntansi Syariah/ Fak. Ekonomi dan Bisnis Islam/UIN WALISONGO SEMARANG)

        Di era digitalisasi ini, rasanya media sosial tidak lagi asing di telinga kita dan bahkan sudah menjadi kebutuhan pokok atau makanan sehari-hari dalam kehidupan. Media sosial bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah ada sejak dulu dan semakin berkembang hingga saat ini. Dikutip dari laman resmi we are social, kamis (20/02/2020) diseluruh dunia ada 3,8 miliar pengguna media sosial pada bulan januari 2020 dan angka penggunanya semakin bertambah 9 persen atau 321 juta pengguna baru sejak tahun lalu. Ini artinya ada banyak sekali penduduk di dunia ini salah satunya Indonesia yang menggunakan media sosial. Media sosial tidak mengenal status sosial, gender, agama, ras maupun batasan sosial dalm penggunaanya dan bahkan anak yang masih berusia 10 tahunpun sekarang sudah banyak yang menggunakan media sosial.

        Kabar baiknya, dengan adanya media sosial yang semakin berkembang ini segala informasi dan berita dapat diakses dengan sangat mudah, cepat dan tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Hal ini dapat kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk menyebarkan berita baik maupun mengajak orang lain menuju kebaikan atau istilahnya berdakwah. Namun kabar buruknya, dengan adanya media sosial yang tak terbatas ini sering disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kriminal. Maka dengan demikian untuk menghindari hal ini kita sebagai pengguna media sosial harus lebih bijak dalam menggunakannya.

        Dengan maraknya perkembangan media sosial ini tentu saja sangat membantu pada sebuah aktivitas dakwah, karena seperti yang kita semua ketahui aktivitas dakwah di zaman sekarang ini tidak hanya dilakukan dari mimbar ke mimbar saja namun bisa juga dilakukan dengan duduk ditempat menyalakan gadged untuk membuat konten atau menulis artikel atau apapun dan di eksplor ke khalayak atau yang bias kita kenal secara virtual dan pastinya dengan memanfaatkan media sosial yang ada. Apalagi saat pandemi seperti ini digital sangat berperan penting karena tidak semua hal dapat dilakukan secara tatap muka hal ini juga merupakan salah satu alasan semakin menjadikan minat pengguna media sosial yang semakin naik yang tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi seorang dai ketika berdakwah.

         Mengubah persepsi khalayak, ,menebarkan kebaikan atau yang kita kenal dengan aktivitas dakwah ini tidaklah mudah, menciptakan tulisan-tulisan yang dapat membangun minat baca, motivasi seseorang tidaklah mudah, dan menggiring opini public juga tidaklah mudah terutama dikalangan remaja dan pastinya memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah, maka inilah saatnya bagi kita seorang jurnalis untuk berdakwah memanfaatkan media sosial yang ada karena sering berkecimpung dalam media.

        Seperti yang dilansir dari Arrisalah-Jakarta.com yang berjudul 'Asyiknya Berdakwah Dengan Media Tulis Menulis' (5 oktober 2018) bahwa dakwah melalui tulisan ini menjadi suatukeharusan di Era Informasi digital saat ini. Bahkan telah menjadi kebutuhan umat islam karena dakwah dengan tulisan dinilai lebih efektif dan efisien karena dakwah dengan tulisan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan bisa menjangkau daerah yang lebih luas dan keakuratan isi dakwah lebih terjamin.

        Tentunya seorang jurnalis atau dai yang menyampaikan dakwah dengan tulisan agar dapat tersampaikan kepada khalayak terutama remaja bisa kita bungkus dengan bahasa yang lembut, kalimat yang mudah diterima, menarik, tidak terkesan menggurui dan tidak menyinggung pihak manapun. Selalu ada jalan untuk kebaikan.


Penulis: Dewi Sartika, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, IAIN Syekh Nurjati CIREBON

Era New Normal pasca Pandemi Covid-19 (dok. internet)

        Pandemi COVID-19 yang sampai saat ini belum juga berakhi membuat pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan baru yaitu dengan diberlakukannya New Normal sejak 01 Juni 2020 kemarin. Hal ini dikarenakan untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan seperti hancurnya perekonomian negara dari berbagai sektor dan gangguan sosial lainnya. Kaitannya dengan pandemi COVID-19, istilah New Normal dapat diartikan perubahan perilaku untuk tetap melakukan aktivitas normal namun tetap menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan virus COVID-19.

            Dengan diberlakukannya era New Normal, pemerintah berharap semua sektor yang menyangkut baik perekonomian maupun sosial dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah juga berharap masyarakat bisa menjalankan aktivitas normal tanpa kendala namun tetap mematuhi protokol kesehatan yang ada seperti memakai masker saat beraktivitas, rajin cuci tangan dengan sabun, memakai handsanitizer dan sebagainya. Akan tetapi, berdasarkan analisis yang saya lakukan, nyatanya masih banyak masyarakat yang menyepelekan bahkan melanggar protokol kesehatan. Mereka menganggap seolah-olah era New Normal merupakan era di mana pandemi sudah berakhir padahal masih berlangsung. Dengan demikian, urgensi dari karya tulis ilmiah ini yaitu agar pembaca sadar mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan di era New Normal.

Strategi

            Perlu kita ketahui, era New Normal merupakan era di mana aktivitas dinormalkan kembali namun tetap harus mengikuti protokol kesehatan guna meminimalisir angka penularan dan penyebaran COVID-19. Bisa juga dikatakan sebagai bentuk program dalam rangka berdamai dengan COVID-19, karena apabila terus-menerus lockdown, maka perekonomian negara akan mengalami penurunan bahkan lambat laun bisa mengalami kehancuran. Dengan demikian, jangan sampai era New Normal justru menjadi bumerang bagi diri kita sendiri dan masyarakat. Maksud bumerang di sini adalah jangan sampai angka penularan COVID-19 makin bertambah dibanding sebelum era New Normal diberlakukan. Hendaknya kita tunduk dan patuh terhadap aturan yang dibuat pemerintah mengenai protokol pencegahan penularan COVID-19.

   Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan P dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dijelaskan bahwa penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang dapat menginfeksi manusia dengan masuknya droplet yang mengandung virus SARS-CoV-2 ke dalam tubuh melalui hidung, mulut, dan mata. Prinsip pencegahan penularan COVID-19 pada individu dilakukan dengan menghindari masuknya virus melalui ketiga pintu masuk tersebut dengan beberapa tindakan di antaranya:

            Pertama, menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu, jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan COVID-19). Apabila menggunakan masker kain, sebaiknya gunakan masker kain 3 lapis. Kedua, membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau menggunakan cairan antiseptik berbasis alkohol/handsanitizer. Selalu menghindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang tidak bersih (yang mungkin terkontaminasi droplet yang mengandung virus). Ketiga, menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari terkena droplet dari orang yang bicara, batuk, atau bersin, serta menghindari kerumunan, keramaian, dan berdesakan.

        Jika tidak memungkinkan melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan berbagai rekayasa administrasi dan teknis lainnya. Rekayasa administrasi dapat berupa pembatasan jumlah orang, pengaturan jadwal, dan sebagainya. Sedangkan rekayasa teknis antara lain dapat berupa pembuatan partisi, pengaturan jalur masuk dan keluar, dan lain sebagainya. Keempat, Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mengkonsumsi gizi seimbang, aktivitas fisik minimal 30 menit sehari dan istirahat yang cukup (minimal 7 jam), serta menghindari faktor risiko penyakit. Orang yang memiliki komorbiditas/penyakit penyerta/kondisi rentan seperti diabetes, hipertensi, gangguan paru, gangguan jantung, gangguan ginjal, kondisi immunocompromised/penyakit autoimun, kehamilan, lanjut usia, anak-anak, dan lain-lain, harus lebih berhati-hati dalam beraktifitas di tempat dan fasilitas umum. Itulah kiat-kiat untuk mencegah penularan COVID-19 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Selain memakai masker, cuci tangan, dan lainlain, ternyata menjaga sistem imun tubuh juga tidak kalah penting. Hal itu dikarenakan sistem imun tubuh yang kuat bisa melawan virus dan dapat meminimalisir kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi apabila kita terpapar virus COVID-19.

Urgensi

        Dari penjelasan yang telah dipaparkan, semoga pembaca bisa lebih sadar mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan selama masa New Normal dan dapat menerapkan kiat-kiat pencegahan COVID-19. Ingat, masa New Normal bukan berarti pandemi sudah berakhir, melainkan masa New Normal ini menjadi tantangan tersendiri untuk kita agar bisa menjalankan aktivitas normal di tengah pandemi COVID-19. Jangan sampai jumlah pasien bertambah banyak akibat menyepelekan protokol kesehatan di masa New Normal. Menurut saya mematuhi protokol kesehatan tersebut tidaklah sulit apabila kita membiasakan diri. Memakai masker saat bepergian, cuci tangan dengan sabun, memakai handsanitizer bukanlah hal sulit untuk menyelamatkan bangsa ini. Mematuhi protokol kesehatan berarti kita juga menyelamatkan nyawa banyak orang seperti keluarga, teman, dan orang dengan usia rentan terpapar virus COVID-19. Untuk itu, marilah kita junjung tinggi solidaritas untuk menjaga satu sama lain dengan cara mematuhi protokol kesehatan sehingga jumlah pasien dan korban COVID-19 tidak bertambah banyak. Tetaplah produktif dengan aman dan jangan lupa berdo’a agar pandemi ini cepat berakhir dan kita bisa beraktivitas normal kembali. Sekian, terima kasih.


Penulis: Muhammad Aziz, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Pandemi Covid-19 atau lebih dikenal dengan virus corona ini sangat berpengaruh besar terhadap segala sektor termasuk ekonomi. Saat ini masyarakat mengalami perubahan dalam skala besar dimana digital menjadi sebuah alternatif andalan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Segala aktivitas masyarakat banyak dipusatkan dirumah, semua itu  mengubah aktivitas perdagangan, distribusi produk dan jasa di semua industri. Dalam era ekonomi digital, informasi bukanlah sekedar media untuk bertransakasi, melainkan menjadi salah satu sumber yang bisa mendatangkan profit.

Ekonomi digital berhasil menjadi penopang dan penyelamat ekonomi khususnya bagi pedagang milenial. Ekonomi digital mampu menyediakan akses yang sangat luas, mulai dari pengecekan persediaan barang, metode pembayaran dan transaksi lainnya. Keberadaan ekonomi digital mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing produk dam jasa dalam sebuah usaha.

Tapscott menjelaskan bahwa ekonomi digital adalah system ekonomi dengan sebuah ciri khas dan dipengaruhi oleh berbagai akses instrumen serta pemrosesan dari informasi serta kapasitas komunikasi yang dibentuk. Ekonomi digital ini memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin melakukan usaha.

Saat ini, pelaku usaha mulai dari yang mikro sampai dengan makro sudah melirik digital. Banyak flatform yang bisa digunakan, seperti tokopedia, shopee, bukalapak, lazada, dan lain-lain. Beberapa kemudahan yang dihasilkan diantaranya, kemudahan transaksi, akses jual beli yang luas, kecepatan proses, banyak produk yang bisa ditemukan, dan memilih metode pembayaran. Dengan ekonomi digital semua jenis transaksi dan proses jual beli menjadi lebih fleksibel.

Selain itu, ekonomi digital juga memiliki peran dalam antisipasi penyebaran virus Covid-19. Himbauan pemerintah untuk selalu mematuhi protol kesehatan, yakni rajin mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak menjadikan ekonomi digital sebagai alternatif untuk mendukung pemerintah dalam menanggulangi penyebaran virus korona.

Ekonomi digital saat ini membuat pelaku usaha berinovasi untuk bisa bertahan di masa pandemi. Mereka mulai menjalankan perdagangan online. Perusahan kecil sekalipun kini memanfaatkan digital karena hanya aktivitas ekonomi digital yang mampu bertahan di masa pandemi.

Perdagangan online yang dilakukan beberapa pelaku usaha yang menawarkan produknya untuk menarik konsumen dan meningkatkan pendapatan. Dengan begitu, pelaku usaha dapat meningkatkan profit dan memperluas jaringan agar toko online-nya semakin berkembang.

Fitur-fitur penting yang digunakan di toko online bisa membuat konsumen nyaman dan tertarik untuk berbelanja. Fitur-fitur tersebut antara lain, keranjang belanja, situs web toko, logo toko, halaman promo, foto dan video produk, percarian item, gerbang pembayaran, ongkos kirim dan layanan bantuan untuk konsumen.

Selain memperhatikan fitur di flatform toko online, pelaku usaha online juga bisa memanfaatkan internet dalam pemasaran dan promosi. Misalnya saja dengan memposting produk dengan konten yang bagus dan copy writing yang dapat menarik konsumen.

Selain fitur, ada beberapa aspek yang harus dipenuhi dalam membangun bisnis ekonomi digital. Pertama, konektivitas dalam strategi pembangunan bisnis. Kedua, perbanyak data konsumen untuk meningkatkan pendapatan. Ketiga, buat sistem pembayaran yang mudah dan efisien.

Ekonomi digital begitu sangat berpengaruh untuk memajukan perekonomian Indonesia. Dampak positif dari aktivitas ini yaitu produktifitas semakin meningkat, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi, mempermudah kegiatan pemasaran produk dan menjangkau pasar lebih mudah. Meskipun begitu, aktivitas ini tidak selamanya berjalan dengan baik. Banyak gangguan dan kendala didalamnya. Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dalam penggunaan transaksi digital misalnya dalam membuat portal khusus untuk kemudahan transaksi.

Dampak yang mungkin saja terjadi misalnya aksi tipu menipu ketika proses jual beli, gangguan jaringan, dan transaksi tanpa tatap muka menjadikan timbul rasa kekhawatiran konsumen.

Dalam mengatasi hal itu, perlu adanya kerjasama yang lebih baik lagi. Dampak baik dari ekonomi digital akan banyak didapatkan jika bisa menggunakan dan  memanfaatkannya dengan benar.

Ekonomi digital sangat berperan banyak di masa pandemi ini, dimana saat ini tekhnologi mampu mempengaruhi segala aspek kehidupan di dunia. Dengan adanya ekonomi digital ini segala bentuk usaha yang dilakukan konvensional bisa menjadi smart business yang memanfaatkan tekhnologi.

 

Penulis: Nepri Restiyanti, Mahasiswi IAIN Syekh Nurjati Cirebon.


Ilustrasi PSBB (Dok. Internet)

P

embatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi kasus penyebaran covid-19 di Indonesia. Meskipun sempat dilonggarkan dengan adanya isu new normal, namun PSBB kembali diadakan di beberapa kota besar khususnya yang termasuk ke dalam zona merah. Jika dilihat dari efek setelah diadakan PSBB, apakah benar PSBB di Indonesia sudah efektif untuk mengurangi kasus covid-19 di Indonesia ?

Melihat wabah ini sudah merebak hingga ke seluruh daerah di Indonesia, tingkat kewasapadaan pun kian meningkat, seiring dengan di gencarkan berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Mulai dari physical distancing, social distancing, hingga adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) .

Salah satu upaya yang di pilih oleh pemerintah adalah pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau sering kita dengar dengan istilah PSBB.

PSBB merupakan suatu pembatasan kegiatan tertentu terhadap penduduk dalam suatu wilayah, dimana wilayah tersebut sedang terjadi sebuah wabah. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahaan terjadinya penyebaran virus atau wabah yang semakin meluas. Di Indonesia sendiri, PSBB merupakan peraturan yang diterbitkan langsung oleh Kementrian Kesehatan untuk mencegah covid-19, aturan ini juga sudah tercatat di dalam peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020.

Dalam masa PSBB sejumlah kegiatan yang melibatkan publik harus terpaksa dibatasi, seperti : pembatasan dari sektor pendidikan diubah menjadi daring, instansi atau perkantoran yang dilakukan dari rumah (work from home), kegiatan industri pabrik, kegiatan sosial-ekonomi, kegiatan keagamaan, hingga pembatasan transportasi umum dilakukan demi mengurangi terjadinya kasus penyebaran covid-19.

Namun ada pengecualian pembatasan tempat atau fasilitas umum, seperti tempat kebutuhan pokok (pasar, supermarket), toko obat-obatan dan peralatan medis, dan tempat bahan bakar (pom bensin), tetap boleh dibuka dengan menerapkan beberapa protokol kesehatan (menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak).

Adanya pembatasan tersebut tentu memiliki dampak tersendiri untuk masyarakat, mengingat aturan di dalamnya sangat berpengaruh pada kegiatan sehari-hari.

 

Mengukur Tingkat Efektivitas PSBB

Jika dilihat dari seberapa efektifnya pelaksanaan PSBB di Indonesia, maka kita dapat mengukur dari dua faktor berikut.

Pertama, peran pemerintah selaku pembuat kebijakan. Apakah semua kebijakan yang dibuat sudah sesuai, tegas dan telah tersampaikan dengan jelas kepada seluruh masyarakat ? Apakah pemerintah juga bisa memberikan solusi yang tepat dari dampak yang di alami oleh masyarakat akibat adanya pandemi covid-19 ?

Pemerintahan harus terus berupaya untuk memastikan hajat hidup masyarakatnya, agar ketersediaan  kebutuhan dasar tetap terjamin selama pelaksanaan PSBB.

Dalam hal ini, menurut saya pemerintah daerah sudah memberikan kebijakan yang cukup tepat dengan pemberian bantuan kepada masyarakat berupa sembako maupun uang tunai. Bantuan ini juga sudah tepat sasaran karena diberikan langsung kepada masyarakat yang kurang mampu, pekerja buruh dengan gaji dibawah 5 juta, hingga bantuan kepada siswa-mahasiswa, bantuan ini berupa BLT (bantuan langsung tunai) dan beasiswa. Tindakan semacam ini tentu sangat membantu mengurangi tingkat kecemasan masyarakat terhadap dampak yang mereka hadapi.

Selanjutnya, dari segi kebijakan aturan yang dibuat menurut saya masih sedikit kurang dalam ketegasannya. Dalam sebuah berita saya pernah melihat adanya sanksi yang akan di berikan kepada masyarakat jika  melanggar  aturan protokol kesehatan, namun faktanya dalam lapangan masih banyak kelalaian pemerintah dalam menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tersebut.

Kedua, peran masyarakat sebagai pelaksana aturan, kunci utamanya adalah kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan pola PSBB. Mungkin hal inilah yang masih menjadi persoalan utama dari semua daerah yang melaksanakan PSBB. Karena makna dari pembatasan sosial berarti seluruh aktivitas masyarakat sudah tentu akan dibatasi.

Namun pada faktanya, masyarakat kita seolah tidak siap, bahkan banyak masyarakat yang masih bersikap masa bodoh dengan aturan yang telah dibuat. Hal ini tentu dipengaruhi oleh  karakteristik sosial masyarakat kita yang cenderung kurang disiplin.

Masyarakat sudah terbiasa hidup seenaknya dan terkesan sulit diatur. Di sisi lain, penegakan hukum atas pelanggaran PSBB juga masih sangat longgar atau kurang tegas. Sehingga masih sering terjadi pelanggaran yang dilakukan, ini tentu berkaitan erat dengan karakteristik kehidupan sosial masyarakat kita. Sehingga dalam melakukan kebiasan baru dianggap hal yang amat sulit oleh sebagian masyarakat, apalagi hal tersebut banyak yang menganggap terkesan ribet, beberapa celotehan yang sering saya dengar seperti sumpek (kalo harus pake masker).

 

Jadi apakah benar efektif ?

Jika kedua hal ini masih belum menujukkan sikap keterkaitan satu sama lain, menurut saya adanya efektivitas PSBB hanya menjadi angan semata.

Hal ini di latar belakangi oleh beberapa alasan, seperti keterlambatan sikap pemerintah dalam mengatasi masalah covid-19 hingga ketidaksiapan masyarakat dalam menjalani aturan baru yang sudah dibuat.

Adanya PSBB tentu harus dibarengi dengan keadaan masyarakat yang siap dan  sadar akan adanya peraturan, jika hal tersebut bisa dilakukan maka proses pemutusan rantai penyebaran covid-19 pun bisa segera teratasi. Dibutuhkan sinkronisasi yang tepat antara gerakan pemerintah dan ketaatan masyarakat. Sebab, jika hanya berjalan tanpa adanya dukungan satu sama lain,  maka aturan yang sudah susah payah dibuat akan berakhir sia-sia. Jangan sampai usaha yang sudah kita upayakan bersama tidak mendapat hasil apapun, mari bersama-sama mendukung upaya pemerintah dalam memutus rantai covid-19.

Saran saya, untuk suatu daerah yang akan menerapkan kebijakan PSBB, sebaiknya dilakukan pengkajian yang lebih komprehensif dengan pertimbangan yang mendalam terkait kesiapan pemerintah dan kemampuan masyarakat dalam menerima pola aturan yang ada dalam PSBB. Sehingga apa yang menjadi tujuan bisa tercapai dengan cepat,tepat dan akurat.

*) Eva Juniartika H, Mahasiswi KPI, IAIN Syekh Nurjati Cirebon

           Dalam kurun waktu yang relatif singkat, banyak sekali tragedi dikalangan jurnalis yang menggemparkan dunia maya, mulai dari intimidasi hingga kasus pembunuhan. Masih banyaknya tindak kejahatan yang terjadi di kalangan jurnalis, membuat berbagai spekulasi di kalangan masyarakat, apakah benar jurnalis sudah terlindungi dengan adanya UU Pers yang berlaku?.

            UU Pers No. 40 pasal 8 tahun 1999, menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Dapat dijelaskan maksud dari pasal ini, bahwa wartawan atau jurnalis dalam menjalankan profesinya  jaminan untuk mendapatkan perlindungan baik dari pemerintah mauapun masyarakat. Namun, pada kenyataannya banyak dari kalangan wartawan atau jurnalis yang merasa jika kebebasan maupun hak nya masih terbatas. Dan juga masih banyak nya kasus kekerasan terhadap para wartawan di Indonesia menjadikan banyaknya spekulasi yang negatif mengenai penetapan UU tersebut.

            Dikutip dari berbagai sumber, tercatat pada tahun 2019 terjadi banyak kasus kekerasan yang dialami oleh rekan-rekan jurnalis, data menunjukkan bahwa sebagian kasus yang tercatat di tahun tersebut sebagian pelakunya adalah aparat kepolisian. Hal ini tentunya patut dipertanyakan, sebab aparat kepolisian yang seharusnya memberikan perlindungan, memelihara keamanan, dan menegakkan hukum malah berbanding terbalik dengan apa yang para jurnalis rasakan. Bahkan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) menobatkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai musuh kebebasan pers pada tahun 2019 bahkan di tahun-tahun sebelumnya.

            Bukan hanya aparat kepolisian tentunya yang menjadi momok menakutkan bagi para jurnalis, pemerintah dan masyarakatnya sendiri turut andil dalam beberapa kasus yang melibatkan jurnalis di Indonesia. Dari beberapa kasus pembunuhan yang saya temui dari berbagai sumber, ternyata hampir semua kasus tersebut tidak ada penyelesaian pasti di setiap kasusnya. Apakah ini ada campur tangan pihak lain? Tentunya tidak bisa kita pastikan. Banyak dari jurnalis-jurnalis yang hendak megungkap isu sosial dan isu politik yang menjadi korban kekerasan bahkan pembunuhan di Indonesia maupun mancanegara. Ada 10 kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia yang menurut saya sedikit simpang siur dalam urusan penyelesaiannya. Kita ambil contoh pada tahun 2006 terjadi kasus pembunuhan yang dialami oleh rekan Herliyanto, beliau merupakan jurnalis dari Tabloid Delta Pos Sidoarjo. Saudari Herliyanto sendiri ditemukan tewas pada tanggal 29 April 2006 di hutan jati Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur. Aparat kepolisian memastikan bahwa kematian Herliyanto terkait pemberitaan kasus korupsi anggran pembangunan oleh mantan kepala desa Tulupari. Dalam penyelidikan kasusnya, tiga orang berhasil ditangkap. Namun, Pengadilan Negeri Sidoarjo membebaskan ketiganya dengan dalih dua diantara tiga pelaku dianggap kurang cukup bukti, dan satu lainnya dianggap gila. Dalam hal ini atas kematiannya, pihak manakah yang sepatutnya disalahkan?

Potensi

            Mengingat masih banyaknya kasus kekerasan terhadap para jurnalis di Indonesia, serta penyelesaiannya yang dianggap kurang relevan  bagi para jurnalis. Menjadikan semakin besarnya potensi terulangnya kasus-kasus tersebut di masa yang akan datang. Di tahun 2020, menurut data kekerasan terhadap jurnalis yang diperoleh dari pelapor yang dikumpulkan melalui situs aji.or.id (salah satu situs aliansi jurnalis independen) menunjukkan bahwa dari bulan Januari sampai dengan Oktober tahun ini, sudah ada 19 pelapor yang melaporkan tindak kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Dari data yang saya lihat sebagian kasus tersebut berkaitan dengan tindak kekerasan dan doxing, perlu kita ketahui doxing merupakan suatu tindak pelacakan dan penyebaran atau pembongkaran identitas pribadi berupa foto, alamat rumah, nama, dan sejenisnya tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan, dan disebarluaskan kepada khalayak, melalui berbagai media serta didalamnya terdapat narasi yang sebagian mengajak ke suatu tindakan yang negatif kepada pihak yang bersangkutan. Sungguh ironis bukan? Apakah kasus seperti ini akan terjadi di masa-masa yang akan datang? Masih menjadi dilematis tentunya.

Dilematis

            Mengenai dampak yang ditimbulkan dari berbagai kekerasan yang terjadi di dunia kejurnalisan, membuat sebagian orang enggan untuk menjadikan dirinya sebagai jurnalis. Hal ini bahkan menjadi dilematis bagi generasi jurnalis selanjutnya. Mereka bertanya-tanya, masih adakah kebebasan pers di dunia ini? Jika yang mereka temui hanyalah kasus-kasus kekerasan yang cukup mengerikan dialami oleh para jurnalis khususnya jurnalis tanah air.

 Dengan isu-isu yang besar yang memungkinkan membutuhkan liputan ataupun beberapa bukti di kejadian perkara, kembali membuat para jurnalis berada dalam bayang-bayang kekerasan yang akan dialaminya. Isu mengenai pengesahan UU Cipta Kerja, menjadikan ladang sekaligus ranjau bagi para jurnalis tanah air. Aksi demo di berbagai penjuru Indonesia menjadikan ladang bagi para jurnalis untuk meliput situasi dan kondisi pada aksi tersebut. Namun, dengan adanya aksi menolak omnibuslaw ini pula menjadikan ranjau bagi para jurnalis, untuk kembali mengulang segala bentuk tindak kekerasan baik verbal maupun non verbal yang akan mereka alami.

Jika masih banyaknya kasus tindak kekerasan yang dialami oleh para jurnalis dan penyelesaiannya masih dianggap kurang relevan, maka perlu perbaikan maupun penegasan terhadap UU Pers yang sejatinya sudah di terapkan di Indonesia. Jika tidak kembali di pertegas, maka jangan salahkan apabila para jurnalis masih terancam kebebasannya oleh pihak-pihak yang dibalik topengnya dicap melindungi.

Dengan demikian kita selaku para jurnalis harus lebih memperhatikan kode etik, dan juga lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tindakan. Dan untuk para masyarakat, polri, bahkan pemerintah, bisakah kalian menggunakan cara yang lebih baik selain kekerasan untuk kami para jurnalis yang hendak mengungkap kebenaran. Apakah haram hukumnya bagi kami para jurnalis yang ingin menyuarakan kebenaran dan berharap kebebasan untuk kami para jurnalis yang hendak menyuarakn pendapatnya. Jika tidak bisa, patut di pertanyakan, apakah salah pada sistem perundang-undangannya ataukah salah orang yang menjalankannya.

 

Penulis: Gita Thahirah, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Semester 3D, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Dokumentasi Lembaga Riset Mahasiswa FSEI (dok/istimewa).


Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon sudah memiliki lembaga riset mahasiswa. Lembaga riset mahasiswa tersebut bernama Istiqro. 

Istiqro memiliki arti " baca," dalam hal ini diharapkan para anggota LRM Istiqro mampu membaca permasalahan sosial yang ada dilingkungan sekitar. 

Lembaga Riset Mahasiswa (LRM) Istiqro secara nonformal sudah berdiri pada 24 Mei 2019, namun baru disahkan pada 06 Desember 2019 dengan Surat Keputusan (SK) Nomer 3347/in.08/F.II/PP.00.9/12/2019, yang dikeluarkan oleh Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Menurut Ketua LRM Istiqro Muhammad Fadil, pihaknya mengatakan bahwa LRM Istiqro sudah menggelar sekolah riset sosial sebanyak dua kali. 

"Kita sudah melaksanakan sekolah riset sosial sebanyak dua kali," Ujar Ketua LRM Istiqro, saat diwawancarai reporter LPM FatsOeN. 

Tujuannya diadakan sekolah riset sosial menurut Muhammad Fadil, sebagai bahan latihan bagi mahasiswa untuk dapat mengenal setiap permasalahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. 

"Ya sebagai latihan untuk pengenalan lapangan, sebagai mahasiswa diharapkan dapat dekat dengan masyarakat, karena mahasiswa setelah lulus harus bisa mengabdi kepada masyarakat," ucap Muhammad Fadil. 

Pada bulan Desember tahun 2019, LRM Istiqro menggelar sekolah riset sosial di lima desa yang berbeda, diantaranya  Desa Ambulu, Desa Tawangsari, serta Desa Panembangan Kabupaten Cirebon, dan di Desa Sagarahiang dan Desa Cisantana Kabupaten Kuningan.

Setelah melakukan riset lapang, mereka para peneliti yang terlibat akan memaparkan hasil laporan risetnya, melalui ekspose data. Lalu, dari hasil laporan riset tersebut akan dibuatkan dalam satu file draft laporan hasil riset bersama. 

Dalam perjalanannya, sampai dengan saat ini LRM Istiqro tercatat sudah memiliki anggota sebanyak 45 orang, yang terdiri dari berbagai macam kalangan, serta satu-satunya fakultas di lingkungan IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang sudah memiliki lembaga riset khusus bagi mahasiswa.

LRM Istiqro FSEI sedang melakukan kegiatan online meeting (dok/istimewa).


LPM Fatsoen - Lembaga Riset Mahasiswa Istiqro Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon bekerja sama dengan Santri Alam (SALAM) Cirebon dan Sekolah Mangrove Losari Cirebon, Sabtu (3/10) mengadakan kegiatan webinar Ngaji Hasil Riset bertemakan " Ekspansi Perkebunan Sawit, Korupsi Struktural, dan Penghancuran Ruang Hidup di Tanah Papua."

Dalam kegiatan ngaji hasil riset tersebut yang menjadi pembicara diantaranya, Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia, Eko Cahyono dari Sajogyo Institute Bogor, Gus Syatori selaku peneliti  di Boven Digoel, dan Max Binur dari Belantara Papua.

Diketahui sepanjang tahun 2019, Greenpeace Indonesia telah melakukan penelitian di tiga tempat suku yang berbeda di Papua diantaranya, komunitas suku Yeinan di distrik Jagebob Kabupaten Merauke,  Komunitas Suku Auyu di distrik Jair Kabupaten Boven Digoel Papua, Komunitas Suku Mpur di Kampung Arumi Distrik Kebar Timur dan Kabupaten Tambrau Papua Barat.

Dalam dokumen penelitian yang dirilis, ekspansi perkebunan sawit merupakan bagian dari penghancuran ruang hidup masyarakat Papua, dimana areal perkebunan sawit milik tanah ulayat diambil oleh perusahaan demi kepentingan korporasi bisnis oligarki.

Menurut Eko Cahyono salah satu pembicara pada webinar Ngaji Hasil Riset mengatakan bahwa akar permasalahan dari ekspansi perkebunan sawit di tanah Papua adalah praktik koruptif.

Empat modus korupsi? sementara itu, hasilnya dalam penemuan ekspansi korporasi sawit di Papua dan Papua Barat berkelindan dengan setidaknya empat (4) modus koruptif, yaitu diantaranya :

1.    State capture corruption, adalah modus korupsi dalam mekanisme pelayanan publik, pengadaan, pemberian izinyang dilakukan oleh oknum yang berkuasa di pemerintah.

2.    Manipulasi dan penipuan atas nama representasi kesepakatan suara masyarakat.

3.    Tekanan yang kerap berujung pada tindak kekerasan (baik simbolik maupun fisik) menjadi modus berikutnya.

4.    Obral janji palsu. Kerap terdengar cerita dan pengakuan dari komunitas adat di sekitar area korporasi sawit yang menyerahkan tanah adat mereka karena janji-janji tertentu; mulai berupa uang, jabatan tertentu, pekerjaan, hingga jalan-jalan ke Jawa.

Sementara, itu menurut Gus Syatori dalam pemaparan pematerinya mengatakan bahwa pihak perusahaan perkebunan sawit menggunakan cara-cara yang licik untuk memperoleh lahan perkebunan sawit, dengan cara pendekatan konflik yakni memecah belah antara marga.

"Mereka itu jahat sekali, sesama marga diadu domba hanya demi kepentingan bisnis mereka, sehingga nilai dan sistem budaya di tanah Papua dihilangkan," Ucap Gus Syatori dalam sesi pemaparan.

Dalam riset tersebut menggunakan metodologi kombinasi antara riset akademik dan riset partisipatoris atau yang biasa disebut dengan (academic cum participatory).

Sehingga tujuan dari penelitian tersebut secara umum berusaha untuk mengetahui dan menganalisis berbagai dampak ekspansi perkebunan sawit dan praktik korupsi sumber daya alam (dalam makna luasnya) yang mengakibatkan beragam krisis sosial, ekonomi, lingkungan dalam multiperspektif di di wilayah Papua dan Papua Barat.

Ngaji Hasil Riset tersebut tidak hanya dilakukan secara online, namun diadakan juga secara offline di pondok pesantren Patwa Desa Mertapada Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.

Di kegiatan offline hadir peserta dari berbagai jurusan seperti, mahasiswa Hukum Keluarga, mahasiswa Hukum Tata Negara, mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, dan mahasiswa FUAD dari Jurusan BKI, KPI, dan PMI. (Fatsoen/Faldi)


Di sepertiga malam

Seorang Puan berparas ayu dengan Tuan yang tak kalah tampan saling menyambut dalam janji suci. Media membeberkannya sana sini. Kata orang-orang cinta mereka terpaut ikatan Ilahi. 

 "Oh andai aku bisa seromantis itu ya," 

Tuan membuat sepucuk pesan dalam bait lagu, katanya, menikung di sepertiga malam. Berdo'a bermunajat pada Tuhan, agar merebut hati gadis impian.

Sepertiga hadirin tersenyum melihat mereka, sepertiga iri akan hubungan ini, sepertiga malah ingin segera melakukan ijab kabul sendiri, dan sisa dari tiga buah sepertiga lagi adalah mereka yang berfikir seperti ini:

Bila Tuhan seperti manusia. 

"Kalian datang cuma gara-gara dia?" 

Bila Tuhan seperti manusia. 

"Kalian cuma ada butuhnya saja"

Bila Tuhan seperti manusia. 

"Apa sebelum kalian menginginkan sesuatu pernah mampir ke hadapan Saya?"

Kembali terpaku, pada pernikahan yang katanya suci itu. Bukan berarti sisa dari tiga buah sepertiga ini berfikir untuk tidak ingin berdo'a. Mereka berpendapat, kenapa tidak meminta untuk ketenangan hati dan jatuh cinta pada Ilahi?


 

(Penulis: Zulva Azhar)

(Ilustrasi Kegiatan Praktik Ibadah Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Foto : Dokumen Istimewa)

LPM FatsOeN-Beredarnya informasi perihal program Praktik Ibadah tahun 2020 yang akan dilaksanakan secara tatap muka dalam Panduan Pelaksanaan Praktik Ibadah 2020 yang tersebar di group Whatsapp mahasiswa semester 3 (tiga) dan 5 (lima). Pasalnya dalam beberapa poin dalam panduan, dikatakan bahwasanya pertemuan program Praktik Ibadah dilaksanakan secara tatap muka dengan 10 kali pertemuan.

Saat kami menghubungi Agung, sebagai ketua program Praktik Ibadah, dia menegaskan bahwasanya tidak ada tatap muka dalam pembelajaran Praktik Ibadah. “Tidak benar (informasi tatap muka), kita tetap daring atau online,” katanya melalui pesan Whatsapp.

Perkuliahan secara daring memang diamanatkan oleh SKB (Surat Keputasan Bersama) empat menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada tahun ajaran 2020/2021, yang kemudian ditindak lanjuti oleh Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon melalui surat edaran nomor 2469/In.08/PP.00.9/2020 tentang pelaksanaan kegiatan akademik semester ganjil 2020/2021 dalam poin A ayat 2 disebutkan bahwa segala aktivitas pembelajaran dilakukan secara online.

Penulis : Sulthoni
Reporter : Sulthoni

           Aku tidak mengerti kenapa orang-orang begitu lekat dengan kopi. Yang kutahu, kopi itu hanyalah minuman pahit yang identik berwarna hitam dan diminum saat hangat atau panas. Tidak lebih. Kalau diberi pilihan, aku lebih suka teh.

            “Laki-laki itu ngopi! Kok ngeteh,” kata Paman penjual gorengan dengan nada bercanda. Orang inilah yang membuatku memikirkan hal-hal sepele seperti cara menikmati kopi dalam sebuah pembicaraan. “Kalau kamu tahu kopi itu pahit, kamu nggak akan bicara sesuatu yang menyakitkan orang lain,” katanya dengan bangga. Padahal prinsipnya itu tidak cocok secara universal. Tidak sedikit orang yang ngopi tapi tidak bisa menjaga mulutnya.

            “Kalau ngikutin katamu, berarti orang yang masih ngomong seenaknya itu yang nggak bisa memaknai kopi?”

            Si Paman terkekeh kecil mendengar logikaku. Sambil menyeruput cairan hitam dari gelas transparan miliknya, aku yakin sekali kalau kopinya benar-benar pahit karena aku tidak melihatnya menambahkan gula atau susu ke dalamnya, dia mengambil napas enggan kemudian berkata, “Yang kamu bilang udah cukup nyakitin orang yang kamu maksud loh.”

            Aku terkejut. Bukan karena susunan kalimat dan diksinya yang membuat aku merasa tersentak. Bukan juga karena raut mukanya yang secara tidak biasa terlihat sedikit lembut. Tapi aku terkejut karena nada bicaranya yang berubah setelah menyesap sedikit kopi. Suaranya begitu rendah. Menandakan kerendahan dan keengganan menyakiti orang lain. Berbeda dengan suaranya yang biasa tinggi dan sombong.

            Timbul kekhawatiran yang aneh dalam kepala. Aku segera menyingkirkan pemikiran itu dan tersenyum. Begitu aku melontarkan logika lain bahwa setiap orang boleh memaknai kopi dengan caranya sendiri, kali ini dia malah tertawa lepas.

            Pada akhirnya aku disuruh mencoba minum kopi yang dari kemasan. Kebetulan temanku punya sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Besok malamnya aku pergi ke sana dan memesan satu kopi. Dari daftar menu aku pilih secara acak dari salah satu yang paling murah. Tubruk. Aku tertarik dengan namanya. Mungkin nanti ada sesuatu yang mengejutkan dari nama itu.

            Tempat itu sedang dalam keadaan sepi. Aku bisa memilih tempat duduk mana saja. Karena tempatnya terbuka, jadi aku memilih meja yang paling dalam. Baiklah, ini lumayan menyenangkan. Duduk sendiri di sebuah meja persegi dengan tiga kursi kosong di hadapanku. Rasanya seperti bebas. Tanpa sadar aku malah mulai menilai tempatnya dan lupa dengan tujuan datang ke sini.

            Seorang pelayan datang membawa segelas kopi dan menyajikannya di mejaku. Aromanya mirip dengan produk kopi perahu api yang biasa diminum Paman tukang gorengan. Tanpa basa-basi, aku menyobek bungkus gula dan menuangkan separuh isinya ke dalam cairan hitam yang sangat kental. Dalam seruputan pertama, suara seperti, “Hueek,” hampir keluar dari mulutku. Itu sungguh tidak sopan kalau aku tak menelan suara itu.

            Aku masih tidak mengerti kenapa orang-orang begitu suka dengan minuman yang sangat pahit ini. Rasa asam bercampur pahit getir membuatku khawatir dengan penyakit lambungku. Rasa tidak suka akan minuman itu mulai berkumpul di dalam pikiran. Segala alasan yang membuatku semakin tidak menyukai kopi sedikit demi sedikit berkumpul menjadi satu.

            Aneh. Aku lebih suka minum teh tawar daripada ini, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal. Suara kendaraan bermotor, kesendirian, rasa asam, kedamaian. Aku tidak mengerti. Kenapa aku malah menangis?

            Aku langsung menyeka air mata yang tiba-tiba turun. Hanya setetes, tapi terasa sangat memalukan kalau orang lain melihatku yang sendirian minum kopi tiba-tiba menangis. Setelah semua, sepertinya aku memang tidak akan bisa akrab dengan kopi. Ingin segera kuminum susu manis untuk menghilangkan rasa pahit di lidah. Baiklah aku akan membelinya.

            Namun untuk sekarang, aku akan menikmati sisa minuman pahit yang masih banyak ini dengan perlahan. Menikmati kesendirian dan kegetiran hidup seperti rasa kopi tubruk yang membuatku kapok dalam sekali teguk. Tidak buruk. Karena aku jadi menantikan rasa manis yang akan datang di masa depan.


(Alfarabi/Fatsoen)

(Logo Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon/whatsapp)

Situasi pandemi virus Covid-19 saat ini menimbulkan dampak di semua lini kehidupan. Dampak yang paling terasa tentu saja di bidang ekonomi di mana banyak pekerja yang kesulitan memperoleh pekerjaan sampai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) bahkan pendapatan yang menurun. Sebagian besar mahasiswa, terutama yang menempuh jenjang S1 masih bergantung pada sokongan dana dari orangtua atau kerabatnya. Oleh karena itu, saat ini walaupun secara tidak langsung, pandemi Covid-19 berdampak pula pada mahasiswa. Beberapa waktu belakangan, media banyak memberitakan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di beberapa perguruan tinggi menuntut pembebasan biaya kuliah mereka, atau disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Mahasiswa menuntut keadilan dari pihak kampus agar memperhatikan kondisi ekonomi keluarga mereka yang menurun sehingga mereka terancam tidak dapat melanjutkan kuliah sampai tuntas. Pemberitaan mengenai usaha mahasiswa untuk memperjuangkan pembebasan UKT hampir diadakan di setiap kampus. Mahasiswa melakukan berbagai cara untuk bernegosiasi dengan pihak kampus, mulai dari melakukan petisi, mengumpulkan data dan dukungan melalui penyebaran kuesioner, sampai melakukan aksi dan rapat bersama dengan pihak rektorat dari kampus.

Pada tanggal 30 Juni 2020, puluhan mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon melakukan aksi di depan gedung rektorat IAIN Syekh Nurjati Cirebon dengan beberapa tuntutan sebagai berikut :

    1. Mendesak Rektor untuk transparansi anggaran kampus (KKN-DR, Pengeluaran semester genap, Transparansi UKT).

       2.  Menciptakan SOP Pembelajaran Daring.

       3. Merealisasikan subsidi kuota selama 3 Bulan.

       4. Mengadakan sistem banding UKT yang dilakukan sebanyak 3x dalam satu semester.

       5. Memberikan pemotongan UKT sebesar 50% untuk mahasiswa semester akhir.

       6. Menolak SK Rektor terkait pemotongan UKT 10%.

       7. Memberikan pemotongan UKT sebesar 30% tanpa syarat untuk seluruh mahasiswa (Non-beasiswa).

            Namun, tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh pihak birokrasi kampus, kampus kita tetap bebal dan tuli tidak mengindahkan suara dan aspirasi dari para mahasiswa.

Pertama, sampai saat ini, kampus tidak memberikan kami data mengenai transparansi anggaran kampus (KKN-DR, Pengeluaran semester genap, Transparansi UKT). Alih-alih itu adalah dokumen rahasia yang tidak boleh diberikan secara langsung kepada mahasiswa. Padahal jika mengacu pada PMA No. 36 Tahun 2014 Statuta Kampus, pada bagiaan Keempat tentang kekayaan, pada pasal 110 ayat (2) yang berbunyi “ Pengelolaan kekayaan Institut sebagaimana dimaksud pada ayat (!) dikelola secara otonom, wajar, tertib, efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan taat pada perundang-undangan”

Kedua, mengenai realisasi kuota yang diberikan oleh kampus untuk semester lalu hanya diberikan sebanyak 5GB saja, dengan prosedural yang sangat memberatkan mahasiswa. Pasalnya kampus menerapkan pemberian subsidi kuota dengan mendapatkan dalam bentuk kartu perdana dari provider dan mengambilnya secara langsung dengan mendatangi kampus. Bagi mahasiswa yang berada di luar kota, ketentuan ini dirasa memberatkan. Karena subsidi kuota yang diberikan tidak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan oleh mahasiswa dari luar kota untuk mengunjungi kampus.

Belum lagi, belum ada keputusan yang jelas mengenai pemberian susidi kuota yang akan diberikan umtuk semester ganjil mendatang. 

Ketiga, pemberian subsidi pulsa untuk mahasiswa semester 6 yang sedang melaksanakan KKN-DR tidak sesuai dengan perjanjian awal. Pihak LPPM awalnya mengatakan bahwa pemberian subsidi kuota untuk KKN-DR akan diberikan sebesar RP. 40.000,- namun yang diterima oleh mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN-DR hanya sebesar Rp. 30.000,-. Maka, dengan ini kami ingin mempertanyak perihal transparansi anggaran untuk biaya KKN-DR.

Keempat, Rektorat sama sekali memiliki itikad serius untuk memperjelas sistem banding UKT yang dilakukan tiga kali dalam satu semester.

Kelima, alih-alih membuka ruang audiensi mahasiswa untuk menindaklanjuti tuntutan pmotongan UKT 30% tanpa syarat, rektorat menerapkan kebijakan tanpa melibatkan mahasiswa, dengan menerbitkan surat edaran pemotongan 15% dengan perpanjangan waktu yang singkat, yaitu sampai dengan 14 Agustus 2020.

Kebijakan ini kami rasa belum tepat, dengan adanya kebijakan keringanan UKT 2020/2021 atas tindak lanjut Keputusan Menteri Agama nomor 515 tahun 2020 tentang Keringanan UKT pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri atas Dampak Wabah Covid-19. Meksi ada niat baik dengan keluarnya surat pemberitahuan keringanan UKT. Tapi substansinya hanya basa-basi.

Pasalnya, beberapa syaratnya begitu memberatkan mahasiswa. Pada tanggal 02 sampai 16 Juni 2020, Aliansi Mahasiswa IAIN Cirebon, bagian Tim Survei UKT melakukan penelitian yang menyasar 4553 mahasiswa. Ada beberapa temuan yang menyesakkan dada kita semua. Sebanyak 71% penghasilan mahasiswa menurun, 15% penghasilannya tetap, 11% tidak ada penghasilan 2% merugi dan 1% meningkat. Data kondisi ekonomi mahasiswa di masa pandemi covid-19, ekonomi yang rentan berada di kisaran 83% (menurun, tidak ada pemasukan dan merugi). Sekalipun penghasilannya tetap dan meningkat, bukan berarti pengeluarannya tidak sedikit. Lebih-lebih di masa kuliah di rumah, segala kebutuhan dan penunjang kuliah daring dibiayai sendiri oleh mahasiswa. Dengan kondisi ekonomi mahasiswa yang begitu memprihatinkan, seseorang yang tidak mempunyai nurani saja yang tidak berempati dan bersimpati.

Status pekerjaan orang yang membiayai mahasiswa di masa pandemi covid-19, tak kalah menyayat hati. Hanya sebesar 57% yang masih berdagang dan bekerja, 24% dirumahkan dan 15% lainnya, 3% gulung tikar dan 1% di PHK. Hal ini menggambarkan apa yang telah diprediksi oleh Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Di mana status pekerjaan orang yang membiayai ini hanya setengah lebih, yang masih bekerja. Angka 57% juga akan berubah seiring berjalannya waktu, jika kita melihat bagaimana covid-19 di Indonesia belum menurun, malah naik signifikan pasca diberlakukannya New Normal.Perihal penghasilan orang yang membiayai mahasiswa di tengah covid-19. Sebesar 63% mahasiswa yang berpenghasilan 1 juta ke bawah. 21% penghasilannya 1-2 juta, 10% penghasilannya 3-4 juta dan 6% penghasilannya dibawah 5 juta. Penghasilan yang didapat semakin mengecil, tapi kebutuhan sehari-hari semakin membesar karena kebutuhan yang meski dipenuhi : tidak turunnya UKT dan lain sebagainya.

Maka sudah semestinya kampus memberikan pemotongan UKT bagi semua mahasiswa (non-beasiswa), karena hampir semua orang tua mahasiswa terdampak penurunan pendapatan ekonomi selama masa pandemi ini.


(Ari/Fatsoen)