Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia semakin dikuasai oleh oligarki, sehingga tujuan daripada demokrasi yang pada awalnya bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi nyatanya justru berjalan kearah yang sebaliknya.
Hari ini, pembangunan Indonesia yang dikomandoi oleh Presiden Jokowi tampaknya mulai menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Di banyak wilayah, pembangunan infrastruktur tidak merepresentasikan kebutuhan masyarakat kecil; petani, nelayan atau buruh. Apa yang dilakukan Jokowi dengan menggenjot pembangunan infrastruktur walaupun menghabiskan dana yang fantastis, sebenarnya sudah tepat. Di era persaingan global yang demikian ketat, ketersediaan infrastruktur yang memadai tentu diperlukan.
Meskipun demikian, proyek pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi selama ini dinilai sejumlah kalangan mengenyampingkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam praktiknya, acapkali dilakukan dengan melanggar hak-hak dasar manusia.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya menyebut selama tiga tahun kepemimpinan Jokowi, terdapat tidak kurang dari 300 kasus pelanggaran HAM terkait konflik Sumber Daya Alam dan hak atas tanah. Kasus yang banyak ditemui adalah pengusiran paksa dan perampasan lahan yang disertai intimidasi dan tindakan represif dari oknum aparat keamanan. Kasus tersebut diantaranya terjadi di Rembang Sukoharjo, Palembang, Sukolilo dan yang paling mutakhir di Kulon Progo. Pelanggaran itu umumnya melibatkan setidaknya tiga pihak, yakni oknum pemerintah daerah, aparat keamanan dan pihak perusahaan.
Developmentalisme & Ekowisata
Model pembangunan ekonomi Indonesia yang sedang berjalan sebenarnya merupakan adopsi dari konsep developmentalisme. Konsep tersebut pertama kali dimunculkan oleh para ahli ekonomi Barat. Salah satu ciri developmentalisme ialah pembangunan infrastruktur secara masif. Pembangunan sarana fisik diyakini akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan konsumsi domestik dan tentunya berakibat positif pada pertumbuhan ekonomi. Developmentalisme didesain sebagai model pembangunan negara dunia ketiga agar mampu mengejar ketertinggalan ekonomi dari negara-negara yang sudah maju, sekaligus meredam potensi kembalinya ideologi sosialisme-komunisme.
Namun dalam perkembangannya, developmentalisme gagal menyejahterakan negara-negara dunia ketiga dan justru menjadi pintu masuk bagi negara-negara maju untuk mengendalikan perekonomian negara miskin-berkembang. Sebagai anak kandung kapitalisme, developmentalisme memiliki watak eksploitatif. Pembangunan fisik maupun pengolahan sumber daya alam kerapkali tidak memperdulikan perihal kelestarian lingkungan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Melalui kebijakan dan program Kawasan Startegis Pariwisata Nasional (KSPN) pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, meletakkan sektor pariwisata masuk dalam 5 besar agenda utamanya, termaktub dalam naskah NAWACITA. Merujuk beragam data resmi dari pemerintah tentang kebijakan pengembangan KSPN (Kementrian Pariwisata, Kantor Sekretariat Presiden, BAPENNAS dan Kelompok Kerja Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Prioritas, Kementrian Pariwisata, 2016), menunjukkan lima argumen utama mengapa penting KSPN ini dilaksanakan sebagai program prioritas pemerintahan Jokowi –Jusuf Kalla ini yaitu; (1) Pentingnya mengakhiri sumber pendapatan negara dari industri ekstraktif SDA, (2) pariwisata sebagai sumber devisa nasional yang cepat dan belum optimal, (3) pariwisata dapat untuk meningkatkan daya saing bangsa di mata global, (4) pariwisata sebagai lapangan baru investasi pertumbuhan ekonomi nasional, (5) KSPN untuk menunjang percepatan perluasan infrastrktur untuk integrasi dan interkoneksi. Dalam data ini disebutkan bahwa perolehan devisa nasional dari dari sektor pariwisata menempati rangking 4 setelah: minyak dan gas bumi, batubara, minyak kelapa sawit. Sehingga diharapkan di tahun 20120 dapat menjadi sumber devisa utama melebihi 3 komuditas lainnya.
Kebijakan ekowisata bertopeng lingkungan dan konservasi cenderung dianggap “netral” dan bebas kepentingan ekonomi-politik. Ketika disebut kebijakan pembangunan ekowisata, sebagaimana ditanyakan berulang dalam wawancara studi ini (di semua lokasi studi), masyarakat merasa program KSPN ini seolah pasti baik, dan menghormati prinsip keberlanjutan ekologis.Ekowisata dianggap jawaban model pembangunan yang tidak merusak lingkungan dan hormat pada hak kelola rakyat.Seolah urusan ekologis tidak terkait dengan kepentingan ekonomi-politik.Hal ini ditemukan di semua lokasi studi. Namun ketika dijelaskan ulang bahwa rencana pembangunan KSPN akan diprioritaskan urusan aksesibilitas berupa infrastruktur, bandara, jalan tol, hotel, dst, masyarakat langsung bertanya: oleh siapa? akan dibangun dimana, bagaimana hak masyarakat atas tanah dan sumberdaya alam mereka? Masyarakat aakan dilibatkan menjadi apa? dan seterusnya. Praktik yang terjadi di semua lokasi studi ini meunjukkan bahwa orientsi pembangunan infrastuktur: hotel, jalan raya, bandara, penginapan, lebih utama dan tidak melibatkan kekuatan potensi ekonomi local. Terlebih seluruh desain rencana pembangunan penunjang wisata tersebut masih minim memperhatikan “rambu-rambu” (apa yang boleh dan tidak boleh) menurut masyarakat sendiri. Singkatnya, atas nama ekowisata pada praktiknya adalah pembangunan infrasturktur danperampasan ruang hidup rakyat atas nama ekowisata dan konservasi (green grabbing).
Pembangunan ekonomi yang dijalankan rezim Jokowi tidak jauh berbeda dengan pembangunan di zaman rezim Suharto. Cara-cara militeristik dipakai rezim Suharto ketika proyek pembangunannya berseberangan dengan pihak-pihak tertentu. Alhasil, pembangunan di era Suharto menyisakan sejumlah persoalan kemanusiaan. Penggusuran, pengusiran paksa, perampasan aset disertai intimidasi dan teror adalah pola-pola klasik yang dilanggengkan rezim Jokowi. Dalam filsafat, sosok Suharto dan Jokowi bisa diklasifikasikan sebagai penganut utilitarianisme.
Oligarki Demokrasi
Widjojo Nitisastro dalam bukunya The Indonesian Development Experience menyebut bahwa pembangunan ekonomi seharusnya tidak abai pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Laju pertumbuhan ekonomi memang penting bagi sebuah negara, terlebih dalam kancah persaingan ekonomi global. Namun, peningkatan kualitas manusia melalui pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan mutlak jauh lebih penting. Begitupun sesuai dengan landasan nilai-nilai pancasila di ayat kedua dan kelima.
Di dalam kepemimpinannya ini, masyarakat berharap Jokowi tampil sebagai pahlawan bagi wong cilik, kelompok masyarakat yang selalu dijadikan idiom khas parpol yang mengusungnya. Apalagi hal ini diperparah oleh munculnya oligarki kekuasaan sebagai ekses negatif dari otonomi daerah. Oknum politisi yang bersekutu dengan pemilik modal dan aparat hukum yang korup terlibat dalam persekutuan jahat yang mengangkangi hukum dan etika. Apalagi tipe oligarki yang sedang berdiri di Indonesia adalah tipe oligarki penguasa kolektif, yang memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Pada kebanyakan kasus, kekuasaan kolektif dilembagakan dalam suatu badan pemerintah yang isinya oligarki semua.
Dari salah salah satu cirinya oligarki memilki jangkauan kekuasaan yang sangat luas dan sistematik. Menurut analisis Politik Northwestern Universuty, Jeffrey winters mengatakan bahwa oligarki dan elit politik di Indonesia sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol, sehingga Indonesia mempunyai oligarki demokrasi.
Berkembangnya sistem deokrasi justru memicu semakin merajalelanya oligarki. Hal demikian bukan karena sistem demokrasi yang salah, akan tetapi hukum yang lemah.
Ekonomi eksklusif, yang hanya dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik modal, menurut Daron akan menutup akses masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Menjadi wajar jika pembangunan infrastruktur kemudian hanya dirancang untuk memfasilitasi kepentingan pemilik modal. Masyarakat berharap agar ia mampu bersikap tegas pada oligarki kekuasaan lokal yang mengeksploitasi kekayaan daerah tanpa pertimbangan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Ia sepatutnya juga berani memberikan sangsi hukum bagi oknum korporasi nakal yang menelikung hukum demi keuntungan finansial.
Bukan perihal menolak pembangunan, akan tetapi pembangunan yang seperti apakah yang harus dibangun? Jika pembangunan yang digencarkan hanya dirasakan oleh segelintir orang, namun mengorbankan banyak darah dan tangisan dari rakyat, pembangunan tidak perlu dilakukan. Karena Negara ini didirikan di atas dasar pengakuan pada nilai kesetaraan. Pancasila sebagai dasar negara harus diakui tidak cocok terhadap pola pikir utilitarian yang tidak peduli soal kemanusiaan. Pembangunan dalam kerangka pikir Pancasila memiliki tujuan agung; yakni terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara, dalam hal ini harus memastikan bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan dan termarginalkan (no one left behind) oleh arus pembangunan.
Penulis : Siti Khotimah
Posting Komentar