PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sitem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. Setiap tiga tahun, siswa berusia 15 tahun dipilih secara acak, untuk mengikuti tes dari tiga kompetinsi dasar yaitu membaca, matematika dan sains. Indonesia sudah bergabung dengan PISA sekitar tahun 2000 dan pada tahun 2015 Indonesia mengalami kenaikan nilai dari setiap tesnya dibanding dengan tes sebelumnya dengan rincian nilai sains 403 poin, matematika 386 poin dan membaca 397 poin. Dimana nilai rata-rata dari OECD adalah 500 poin. Indonesia pada saat itu menduduki peringkat 62 untuk sains, 61 untuk membaca dan 63 untuk matematika dari 69 negara yang dievaluasi. Yang menduduki peringat pertama di evaluasi ini adalah Singapura.
Hal ini menunjukkan kemampuan berpikir analisis siswa Indonesia masih terbilang rendah karena soal-soal yang diujuikan pada tes PISA terbilang membutuhkan daya pemiikran yang tinggi. Hal ini dapat pula disebabkan karena siswa di luar negeri lebih sering terbiasa mengerjakan soal-soal yang terbilang HOT. Jika siswa di Indonesia lebih suka soal-soal yang mudah, berupa pilihan ganda atau sama dengan contoh yang diberikan. Bahkan ada yang sekedar hanya ingin mendapatkan nilai ia tidak benar-benar mendalami materi yang diajarkan, siswa yang sekolah belum tentu ia belajar. Bahkan siswa PAUD di luar negeri sudah ditekankan budaya membaca sejak dini agar terbiasa hingga dewasa, sementara di Indonesia siswa PAUD tidsk ditekankan kepada budaya membaca melainkan sebuah belajar sambil bermain. Padahal 90 % pertumbuhan otak terjadi pada usia balita. Bahkan setelah siswa memasuki SD dan SMP pun minat bacanya masih terbilang rendah. Kurangnya arahan guru untuk mengajak siswanya banyak membaca, dan kurangnya bahan buku bacan menjadi pemicu siswa di Indonesia kurang menyukai membaca. Biasanya perpustakaan di sekolah-sekolah hanya menyediakan buku-buku paket saja ataupun jika ada buku bacaan lainnya hanya ada beberapa saja jadi siswa merasa bosan, berbeda dengan negara lain seperti Eropa yang menyediakan bahan bacaan dengan sangat banyak sehingga siswa menjadi minat untuk membaca karena banyak referensi bacaan. Para orang tua juga terkadang menghalang- halangi anak untuk berpikir analis misalnya ketika seorang anak bertanya kepada ibunya mengapa harus begini? Buat apa? Untuk apa ? atau sebagainya biasanya orang tua merasa kesal jika ada anak anak yang banyak bertanya bahkan ada yang sampai metamaharinya apabila terus-menerus bertanya sehingga nanti ketika sekolah anak akan malu untuk bertanya padahal pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh anak tersebut itu adalah sebagai pengembangn pola berfikir seorang anak.
Dan Guru-guru di negara maju pun rata-rata sampai jenjang S2 sehingga metode pengajaran menjaadi lebih baik karena guru tersebut memiliki banyak pengalaman. Kurangnya motivasi belajar yang diberikan guru juga mempengaruhi terhadap semangat belajar siswa. Guru di Indonesia kebanyakan hanya sekedar memenuhi tugasnya saja jika sudah memberikan materi yang sesuai bahan ajar dirasa semua tugas sudah terselesaikan. Padahal seorang guru selain memberikan materi harus mampu membuat siswa menjadi semakin semangat dalam belajar, menjadikan belajar sebagai kebutuhan guna menambahkan kemampuan berfikir siswa. Karena kurangnya semangat belajar sehingga siswa di Indonesia masih kurang menghargai waktu ketika waktu belajar di Sekolah ia tidak benar-benar memanfaatkannya ketika guru sedang menjelaskan masih ada yang mengobrol, mencoret-coret kertas ataupun sebagainya terutama dalam pembelajaran matematika sehinggaa siswa di Indonesia sebagian kurang menguasai konsep dan ketika dihadaapkan dengan permasalahan atau soal yang komplek mereka tidak langsung memahami bagaimana menyelesaikannya. Bahkan ketika diberikan tugas siswa banyak mengeluh sehingga terjadilah kasus contek-mencontek bukan kerjasama padahal siswa akan memahami lagi jika memperdalam lagi di rumah. Anehnya siswa Indonesia banyak yang mengininkan cita-cita tinggi tetapi apa yang ia usahakan tidak sebanding dengan apa yang di inginkan sehingga terjadilah mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang ditempuh.
Penulis : Nisa Nurhasanah
Hal ini menunjukkan kemampuan berpikir analisis siswa Indonesia masih terbilang rendah karena soal-soal yang diujuikan pada tes PISA terbilang membutuhkan daya pemiikran yang tinggi. Hal ini dapat pula disebabkan karena siswa di luar negeri lebih sering terbiasa mengerjakan soal-soal yang terbilang HOT. Jika siswa di Indonesia lebih suka soal-soal yang mudah, berupa pilihan ganda atau sama dengan contoh yang diberikan. Bahkan ada yang sekedar hanya ingin mendapatkan nilai ia tidak benar-benar mendalami materi yang diajarkan, siswa yang sekolah belum tentu ia belajar. Bahkan siswa PAUD di luar negeri sudah ditekankan budaya membaca sejak dini agar terbiasa hingga dewasa, sementara di Indonesia siswa PAUD tidsk ditekankan kepada budaya membaca melainkan sebuah belajar sambil bermain. Padahal 90 % pertumbuhan otak terjadi pada usia balita. Bahkan setelah siswa memasuki SD dan SMP pun minat bacanya masih terbilang rendah. Kurangnya arahan guru untuk mengajak siswanya banyak membaca, dan kurangnya bahan buku bacan menjadi pemicu siswa di Indonesia kurang menyukai membaca. Biasanya perpustakaan di sekolah-sekolah hanya menyediakan buku-buku paket saja ataupun jika ada buku bacaan lainnya hanya ada beberapa saja jadi siswa merasa bosan, berbeda dengan negara lain seperti Eropa yang menyediakan bahan bacaan dengan sangat banyak sehingga siswa menjadi minat untuk membaca karena banyak referensi bacaan. Para orang tua juga terkadang menghalang- halangi anak untuk berpikir analis misalnya ketika seorang anak bertanya kepada ibunya mengapa harus begini? Buat apa? Untuk apa ? atau sebagainya biasanya orang tua merasa kesal jika ada anak anak yang banyak bertanya bahkan ada yang sampai metamaharinya apabila terus-menerus bertanya sehingga nanti ketika sekolah anak akan malu untuk bertanya padahal pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh anak tersebut itu adalah sebagai pengembangn pola berfikir seorang anak.
Dan Guru-guru di negara maju pun rata-rata sampai jenjang S2 sehingga metode pengajaran menjaadi lebih baik karena guru tersebut memiliki banyak pengalaman. Kurangnya motivasi belajar yang diberikan guru juga mempengaruhi terhadap semangat belajar siswa. Guru di Indonesia kebanyakan hanya sekedar memenuhi tugasnya saja jika sudah memberikan materi yang sesuai bahan ajar dirasa semua tugas sudah terselesaikan. Padahal seorang guru selain memberikan materi harus mampu membuat siswa menjadi semakin semangat dalam belajar, menjadikan belajar sebagai kebutuhan guna menambahkan kemampuan berfikir siswa. Karena kurangnya semangat belajar sehingga siswa di Indonesia masih kurang menghargai waktu ketika waktu belajar di Sekolah ia tidak benar-benar memanfaatkannya ketika guru sedang menjelaskan masih ada yang mengobrol, mencoret-coret kertas ataupun sebagainya terutama dalam pembelajaran matematika sehinggaa siswa di Indonesia sebagian kurang menguasai konsep dan ketika dihadaapkan dengan permasalahan atau soal yang komplek mereka tidak langsung memahami bagaimana menyelesaikannya. Bahkan ketika diberikan tugas siswa banyak mengeluh sehingga terjadilah kasus contek-mencontek bukan kerjasama padahal siswa akan memahami lagi jika memperdalam lagi di rumah. Anehnya siswa Indonesia banyak yang mengininkan cita-cita tinggi tetapi apa yang ia usahakan tidak sebanding dengan apa yang di inginkan sehingga terjadilah mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang ditempuh.
Penulis : Nisa Nurhasanah