"Kau tahu, tuan? Hakikat perasaan seorang perempuan ibarat bibit bunga dalam pot, jika ia sampai mengungkapkan perasaannya padamu itu berarti ia sengaja memberikan bibit bunga itu padamu. Kau boleh merawatnya hingga tumbuh menjadi bunga-bunga yang indah atau kau boleh membuangnya saja jika kau malas merawat bibit bunga itu. Karena hal itu tidak akan menjadi masalah bagi perempuan, hanya saja kau terkesan mempermainkan perempuan jika kau menerima bibit bunga itu tetapi tak pernah merawatnya, kau biarkan mati di jendela kamarmu. Apakah kau menerima analogi ini, tuan?"
***
1.
Sayup-sayup terdengar suara musik era 70an, lagu dari band legendaris dunia The Beatles—Let It Be terdengar kuat di ruang keluarga rumah berdesain segiempat itu dengan taman outdoor yang berada di tengah-tengah rumah tersebut, lalu kamar dan ruang-ruang yang ada berperan mengelilinginya. Pasti ibu yang menyetel lagu di pagi buta seperti ini, untung ayah tidak ada di rumah sejak seminggu lalu. Jika ada, mereka bisa adu mulut di pagi hari hanya karena pemutaran lagu-lagu favorit yang ingin mereka dengar sangatlah berbeda genrenya. Tapi jujur saja aku lebih suka selera musik ibu daripada ayah yang rock and roll itu, membuat hatiku berdegup kencang dan otakku serasa mau pecah saat musik kesukaan ayah mendominasi rumah.
Udara terasa sejuk sejak kemarin siang, selama itu pun langit mendung. Pagi datang dengan udara segar, menyelinap lewat jendela kamar. Dan ibu mempersilahkan udara itu lebih banyak masuk lewat pintu kamarku yang dibuka. Sebelum ibu bersua nyaring, aku lebih dulu membuka mata untuk mengabari bahwa aku sudah terjaga, hanya saja aku masih ingin dimanjakan oleh balutan selimut. Ibu membiarkan aku begitu saja, masuk ke kamarku untuk mematikan lampu dan membuka gorden jendela secara keseluruhan. Aku mengendurkan otot-otot tubuhku dengan merentangkan kedua tangan.
"Bangun, mandi, sarapan, kalah terus sih sama adikmu yang sudah membantu ibu membuat sarapan, cepet bangun," sindir ibu dengan intonasi lembut seraya menarik selimutku.
Aku menahan selimut yang ibu tarik, lalu menggelengkan kepala, "Masih ngantuk, Bu, gak mau ah, mau lanjut tidur lagi," kataku dengan suara yang terdengar parau.
Setali tiga uang, ibu menatapku kesal di pagi-pagi begini, belum lagi tangannya yang sudah bertolak pinggang, apalagi umpatannya yang sebentar lagi akan pecah di telingaku, aku buru-buru beranjak dan terkekeh, "Hehehe, iya, Bu, iya. Bangun nih, mandi nih, habis itu sarapan," ledekku turun dari ranjang dan segera mengambil handuk berwarna hijau.
"Beresin kasurmu dulu. Kamu tuh anak perawan, masa bangun jam segini? Sholat subuh juga harus di seret-seret dulu ke sumur," ibu memang seperti itu —sarkastis.
Benar 'kan? Aku diomelin, untung sudah terbiasa, sudah kebal. Aku berdeham panjang dan memasang wajah malas. "Habis mandi langsung ke ruang tamu dulu baru sarapan," seru ibu melihatku yang sedang melipat selimut.
Aku menoleh, "Ngapain ke ruang tamu? Kan sarapan adanya di dapur," tanyaku kebingungan.
"Kalau mau ngundang teman ke rumah ya bilang dulu, coba? Biar ibu masakin yang spesial," sahutan ibu itu jelas membuatku mengerutkan dahi.
"Teman siapa?"
"Ya teman kamu lah. Cowok, lagi,"
"Cowok?"
"Pacar kamu ya?"
"Heh?"
***
Sudah setengah jam sejak ibu memberitahu bahwa ada temanku yang berkunjung di pagi hari. Aku sudah mandi, sudah rapi dengan balutan jeans dan t-shirt putih bertuliskan Damn, I Love Bandung yang ku beli di kampung halaman ibu tahun lalu. Setahun yang lalu saat hanya aku, ibu dan adik, pulang ke Bandung untuk menghirup udara segar dari penat ibu kota yang memuakkan. Waktu itu ibu tetap tinggal di rumah nenek, sedang aku mengajak adikku pergi ke sebuah pasar tradisional yang ada di daerah Leuwipanjang tepatnya di bawah jalan layang. Aku ingat aku membayar t-shirt itu dengan pecahan seratus ribu yang dikembalikan enam puluh ribu, adikku minta dibelikan barang yang sama waktu itu tapi aku tidak pernah mengasihaninya.
Saat ini aku masih duduk di depan cermin, memikirkan aku akan bersikap bagaimana saat bertemu dengan temanku di ruang tamu nanti? Teman yang ku ketahui adalah laki-laki yang masih menetap di hatiku ini membuat aku ingin lebih lama mengumpat di dalam kamar saja —rasanya. Bagaimana jika nanti aku hanya mematung saja di depan sana? Ah, bodoh. Jujur saja aku lupa bagaimana menyapanya? Karena sudah lebih dari seminggu aku berdiam diri, bukan menjauhi, hanya memberi kesempatan diri untuk berpikir. Lalu untuk apa sih dia datang ke sini? Darimana juga dia mengetahui rumahku? Ah, menyebalkan sekali.
Layar ponselku menyala, ada satu pesan WhatsApp yang masuk, aku meliriknya cepat, itu dari dia yang mengabari bahwa ia masih menunggu di ruang tamu. Ia juga menambahkan di pesan terakhirnya ungkapan rindu.
Katanya :
"Aku masih di ruang tamu. Aku nunggu kamu,"
"Aku kangen kamu tau,"
Aku membalasnya cepat, "Oh iya. Hehehe. Sebentar ya aku lagi mengeringkan rambutku dulu," dalihku. Yang langsung dibaca oleh laki-laki itu dan membalasnya lagi dengan satu kata, "Siaaapp,"
Duuh, bagaimana ini? Aku sama sekali tidak bisa menghindarinya. Aku yakin ada begitu banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin dia sampaikan dan dari aku sendiri pun harus ada penjelasan dan klarifikasi kepada dirinya sebab sikapku yang berubah dan menghilang begitu saja. Ayolah! Ini mudah, kok, dilakukan. Aku hanya perlu siap jika dia kecewa padaku.
Tapi tidak mungkin laki-laki itu bisa marah dan membentak. Dia adalah laki-laki baik, dia selalu mengalah, dia tidak pernah marah sekalipun kamu mencampakkannya lalu kamu kembali dan meminta maaf padanya. Dia selalu melakukan itu, dia selalu memaklumi, dia menerima siapa pun. Dia memang orang baik.
2.
Aku yang salah sepertinya, dari awal memang aku yang salah. Aku selalu saja salah dalam melangkah. Pikiranku yang mengarahkan aku untuk begini dan begitu, membohongi hati yang ingin sebaliknya. Tapi saat aku berpikir berulang-ulang kali sepertinya aku yang benar tapi perasaanku tidak berkata demikian, hatiku tak enak, aku merasa aku yang salah telah mendiami laki-laki itu, telah memperlakukan ia seperti itu.
Apakah aku benar-benar salah?
Suatu hari aku tak sengaja bertemu dengan laki-laki itu. Di taman kampus kala sore telah menyapa, aku tak mengenal dia siapa, pun sebaliknya. Hanya tahu, mungkin dia juga salah satu mahasiswa di kampus ini. Hari-hariku berlanjut, pun dengan dia, kami tidak pernah saling sapa, hanya saling tahu bahwa dia adalah dia dan aku adalah aku. Kami hanya mengetahui nama masing-masing saja, tak lebih.
Diam-diam aku menyukainya berbarengan aku menyukai orang lain juga. Aku menyukai orang lain lebih lama dari pada aku menyukainya. Ini perasaan yang tidak boleh aku miliki dalam satu waktu, aku juga tidak suka aku begini. Pada akhirnya, aku lebih memilih mengungkapkan perasaanku padanya dan menjauhi orang lain itu, aku memilih untuk melupakan orang lain itu saja.
Aku merasa dari dua laki-laki itu, dia memang berhak menerima bibit bunga perasaan dariku, aku hanya ingin dia tahu ada satu pot berisi bibit bunga khusus untuk dia. Terserah dia mau menerima atau menolak. Yang pasti aku telah memberitahu padanya.
Dia pun menanggapiku dengan senang hati. Apalagi aku yang dibuatnya bahagia karena hanya memiliki sebuah perasaan saja. Kami mengenal satu sama lain karena didekatkan oleh kesempatan. Aku yang mengambil kesempatan itu dan dia tertarik untuk selalu berbincang denganku. Aku senang selama itu, tidak tahu dengan dia. Atau dia hanya suka saja berbicara denganku tapi hatinya tidak atau hatinya pun senang berbicara denganku juga. Ah, terserah. Yang pasti aku tidak menghawatirkan hal itu.
Aku menikmati setiap kedekatan dengannya.
Tapi ada banyak hal yang kupikirkan, aku ini banyak kekurangan, aku tidak punya apa-apa untuk dibanggakan, keluargaku kacau, aku melakukan kesalahan dalam hubungan pertemanan, ada banyak orang yang kukecewakan. Sepertinya aku tak pantas tetap selalu dekat dengannya apalagi berpikir lebih dari itu. Iya 'kan? Tidak pantas.
Terkadang aku merasa menyesal telah mengungkapkan perasaanku, harusnya aku mencintai dalam diam saja seperti yang sudah kulakukan sebelum-sebelumnya pada dia. Terkadang aku juga merasa tidak menyesal karena aku senang dia mengetahui perasaanku. Aku ini memang perempuan labil. Yang ku khawatirkan sekarang adalah aku tak tahu pandangan banyak orang padaku, termasuk dia. Apakah setelah aku menghilang selama ini, dia berpikiran yang tidak-tidak? Padahal aku sedang berpikir banyak hal, tentang aku dan dia, mana yang baik untuk kita, aku tidak hanya berdiam diri saja, aku memikirkan banyak hal karena aku tahu aku tak pantas untuknya. Entah sampai kapan aku ingin berdiam diri, sepertinya sampai aku benar-benar pantas untuknya, baru aku kembali. Harus begitu, 'kan?
Sebenarnya, ada hal yang ku takutkan saat aku menghilang, aku takut dia menyangka selama ini aku tidak tulus padanya, aku hanya main-main saja, padahal tidak seperti itu, aku terpenjara oleh keadaan, oleh rasa bersalah, oleh kegagalan. Padahal aku juga ingin selalu berada di dekatnya. Ingin selalu!
Entah dengan dia? Aku benar-benar payah memikirkannya.
Pernah suatu ketika aku menangis di depannya. Karena dia, sungguh. Saat itu aku berada dalam satu keadaan yang sangat tidak enak, sangat-sangat menyebalkan, aku tidak menceritakan masalahnya dan ia sempat kesal padaku. Tiba-tiba aku menangis sebab perkataanya, "Jangan nampakin wajah kaya gitu kalo gak mau nyeritain masalahnya," aku tersentak, langsung menangis di tempat.
Padahal saat itu bukan sebuah kata-kata yang ingin aku dapatkan darinya, saat itu aku hanya butuh pelukan darinya, untuk menenangkan pikiranku, karena saat itu aku sedang malas membahas apapun, karena waktu itu aku sedang kesal dengan diri sendiri dan keadaan, karena saat itu waktunya tidak tepat untuk menceritakan masalahnya, aku hanya ingin pelukannya saja tidak yang lain.
Setelah melihatku menangis yang sesungguhnya menangis, ia merasa sangat bersalah. Entah menyadari kesalahannya atau merasa bersalah karena cerita dari masalahku. Dia baru memelukku, meminta maaf dan menenangkanku tanpa sebuah ceramah panjang. Itu adalah satu dari beberapa hal yang membuatku ragu padanya. Apakah dia benar-benar merawat bibit bunga pemberianku itu? Atau aku hanya butuh pendewasaan dan dia butuh banyak pemahaman tentangku? Tapi jika pada akhirnya bibit bunga itu tidak tumbuh juga seharusnya aku tidak marah. Memang itu sudah menjadi hak dia akan memperlakukan bagaimana, sebab pot yang berisi bibit bunga itu sudah menjadi miliknya seutuhnya. Sekali pun bibit bunga itu mati di jendela kamarnya, aku harus menerimanya dengan lapang dada.
Tapi kenyataannya adalah dia tetap baik. Dia benar-benar baik, selama ini pikiranku saja yang salah, fungsi otakku memang rusak. Selalu mencurigai banyak orang, selalu harus begini dan begitu menurut kebaikan yang telah aku pikiran matang-matang. Atau apakah kebaikannya itu hanya sebuah penghargaan untukku? Oh ayolah aku mulai mencurigainya, lagi.
Dia memang orang baik. Aku bilang semua orang baik, termasuk dia, tapi tidak denganku, karena aku selalu melakukan kesalahan. Itulah mengapa aku bukan orang baik. Jadi, orang baik seperti dia tidak pantas 'kan dengan orang tidak baik sepertiku ini? Sudah jelas jawabannya.
3.
Aku sudah duduk di sampingnya, di sebelah kanannya, di sofa panjang yang cukup untuk tiga orang. Aku melayangkan senyuman saat pertama kali melihatnya, lalu ia membalas senyuman itu. Dia masih sama. Menarik dan manis. Aku paling suka dengan deretan giginya saat ia tersenyum, menarik kerutan-kerutan di bawah matanya, hingga membuat tatapannya menjadi tajam namun indah. Hatiku menyelus saat ia masih bersikap baik seperti itu, padahal aku sering mencurigainya. Aku mencoba menutupi kegugupanku, ada senang, ada takut, ada semuanya bergabung menjadi satu. Membuat jiwaku tak karuan saja, "Pasti sudah lama ya? Maaf membuatmu menunggu," kataku.
Dia menggeleng cepat, "Nggak kok, gak papa. Wajar aja, perempuan kan emang lama kalau urusan mandi dan siap-siap," sahutnya. "Apalagi aku lama banget kan?" tanyaku mencairkan ketegangan dalam diriku.
"Lama sih tapi gak sampe buat aku lumutan kok, hehehe,"
"Bilang aja kamu tuh, aku lama gitu, huh,"
"Tuh kan, aku bilang udah gak papa kok, berartikan gak ada masalah buat aku,"
"Yaudah iya,"
"Hahaha, kebiasaan tuh," sahutnya berharap aku mengakui kebiasaanku, tapi aku malah mengubah topik lain, "Kok tahu rumah aku? Ngapain pagi-pagi ke sini?"
"Mau ikat kamu biar gak hilang terus,"
"Emang aku kambing apa diikat-ikat,"
"Sapi, domba, juga diikat kok,"
"Dih yaa, tahu ah,"
"Hubungan juga harus diikat 'kan?"
"Ya harus itu mah,"
"Naaah gitu dong,"
Eh, sebentar. Apa maksudnya? Hubungan siapa yang mau diikat dan dengan siapa diikatnya? Ah, sial aku ketakutan. "Emang mau diikat pake apa?" tanyaku.
"Pake status,"
"Ooohh.. eh, aku bikinin minuman buat kamu dulu ya? Mau apa? Teh? Kopi? Atau jus jeruk?" seruku mengalihkan percakapan, padahal aku dan dia sudah sama-sama tahu di depan kita sudah tersajikan teh manis hangat dan beberapa gorengan pisang yang disediakan oleh ibu tadi sewaktu aku mandi.
Salting? Wah ya jelas lah.
"Aku mau kamu aja di sini, duduk sama aku, ngobrolin kita berdua,"
Tuh kan!
Aku diam tak bisa berkata apa-apa. Dia juga diam. Lantunan lagu-lagu The Beatles sudah berganti dengan Westlife, sekarang terdengar lagu Westlife yang berjudul Beautiful In White. Ibu ada di dalam kamarnya sedang melipat baju setahuku, adikku sudah pergi ke sekolah, kami duduk berdua di sofa ruang tamu. Hanyut dalam iringan musik Westlife yang romantis. Hatiku sudah berdegup kencang, apalagi saat ia menyentuh tanganku. Rasanya seperti ada ribuan sengatan listrik yang mengalir di dalam darahku. Aku meliriknya malu, dia menyunggingkan senyuman padaku, "Jangan merasa bersalah lagi, kita sudah saling memaafkan tempo hari. Kenapa masih berpikiran yang aneh-aneh, sih? Aku cuman mau kamu, aku ingin terus didekat kamu, jangan ngilang-ngilang lagi," katanya tepat di depan wajahku, dekat sekali.
Aku menelan air liurku susah payah, sulit bernafas saat posisi seperti ini. Aku takut nafasku terdeteksi olehnya seperti nafasnya yang terdeteksi olehku sejak awal ia bicara. Aku menggigit bibir bawahku dulu sebelum bersuara, "Eum... Begini.. Aku.."
Belum aku menyelesaikan kalimatku dengan kegugupan, ia perlahan maju lebih dekat. Tangan kanannya masih menyentuh tanganku, seperti menjagaku agar tidak kabur, sekarang tangan kirinya bergerak menarik tekukku untuk mendekat ke arahnya. Ia menyentuh bibirku lembut, aku melotot terkejut. Tapi ia masih terus mencoba, aku diam, merasakan pergerakan di dalam mulutku, aku merasa geli dibagian daun telinga, ia berhasil membuatku hanyut dan mabuk kepalang, aku menutup mataku karena takut, tapi ia memberiku ruang untuk bernafas dahulu, yang aku tidak tahu dia diam-diam ternyata tersenyum melihatku saat aku terpejam dan ketakutan, lalu melanjutkan kembali, menyentuh bibirku dengan lembut, bermain di sana, mengajariku perlahan-lahan agar aku bisa membalasnya. Mengikuti ritmenya. Saling bertukaran dan menikmati. Aku benar-benar tenggelam. Hingga akhirnya aku menepuk-nepuk pundaknya, menyuruh agar kami selesai. Kami pun berhenti berciuman.
"Kenapa?" tanyanya.
"Mati aku kalau ibu melihat,"
Dia tertawa, "Terus kita mau ngapain dong?"
"Peluk aja kalau mau, ibu masih bisa menerima kalau anak perempuannya dipeluk oleh laki-laki,"
"Hahaha, yaudah sini peluk,"
Aku menarik nafas dahulu sebelum akhirnya masuk ke dalam pelukannya, dia menerimaku, punggungku dielus-elus olehnya, tenang sekali rasanya. Sedamai ini rasanya mendapat pelukan dari seseorang yang kusukai. Serasa aku dilindungi dari kejahatan dunia yang kejam. Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang laki-laki saat ia memeluk perempuan yang disayanginya, apakah ia juga merasa seperti malaikat pelindung?
"Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan ngilang,"
"Hehehe iya iyaa, aku salah."
"Nggak papa, aku maklumi,"
"Kamu memang yang terbaik,"
"Pacaran yuk?" tanyanya tiba-tiba.
"Nggak mau ah, gini aja, temenan aja," kataku masih nyaman di dalam pelukannya.
"Kenapa?" Katanya sedikit kecewa.
"Kalau putus nanti jadi mantan, terus pasti nanti musuhan, gak mau ah, aku gak mau begitu nanti jauh dari kamu,"
"Ya itu sih kamu, aku gak begitu kok," serunya sambil tertawa. Aku keluar dari pelukannya, "Siapa yang tahu, kan, wlee," ledekku sambil menjulurkan lidah.
"Hahaha yaudah iya, teman tapi mesra, gimana?" ajaknya.
"Terserah deh namanya apa, yang penting unsur kita adalah aku dan kamu, tidak ada orang lain," kataku serius.
"Hehehe setuju deh setuju, setuju banget aku," sahutnya, mengakhiri semuanya dengan pelukan dan ciuman di keningku.
Tiba-tiba suara ibu terdengar di pendengaran kami, "HEH!! Apa yang kalian lakukan?!"
Selesai
Penulis : Poni Rahayu
0 comentários:
Posting Komentar