Ingatlah suatu saat kalian tetap haus berjuang
Sampai
titik darah penghabisan
Sampai
kalian tak merasakan gerak tulang kalian
Sampai
kalian tak merasakan tegap atau membungkuk
Sampai
pada saat itulah kalian berjuang bukan berceai-berai.
2002
Ibuku
sudah tiada semenjak 4 tahun yang lalu. Itu kali pertamanya aku merasakan
kehilangan yang begitu dalam. Kini aku tinggal hanya bersama ayah dan abangku
saja. Melanjutkan kuliah dan bergaul nakal, sama seperti mahasiswa lainnya.
Pagi
itu, kala angin masih sedingin malam. Kala daun masih merangkul embun bagai
basah dahan kayu atas hujan. Terlebih lagi kala mata ini baru saja terbit. Pada
saat itu mungkin sejenak akan ada. Pada saat itu suasananya masih asri, aroma
khas mampu dicium hingga sehatnya memenuhi paru paru. Membiarkan telapak kaki
menyentuh jalan dingin pun terasa segarnya pula. Membiarkan helaian rambut
menyapu muka dengan manja, sedangkan dada sesak dengan kekaguman. Gerakan itu
mulai terulang, berjalan, merentangkan tangan, mengangkat bahu, dan menghirup
udara. Segar! Memang tak pernah sesegar ini sebelumnya. Bagaimana tidak? Ini
pertama kalinya aku melewati jalan ini dan kini aku tersenyum bagai janggal
karena jarang dirasa sehingga membuncahlah rasa itu menakjubkan bagai merasa
bebas!
“Dulu
juga pernah lewat sini”, dialogku dalam hati. Di sini, Jl. Jend. S. Parman.
Namun, ya, aku tahu kala itu suram, sehingga tak dilanjutkannya dialog itu demi
untuk tidak merusak suasana hatiku saat ini.
Aku
berbalik ketika jalan sudah habis kutapaki, merenungkan kelakuanku kembali. Aku
terduduk kala itu, membuka pandang bahwa pada saat ini sudah bukan aku yang
dulu lagi. Tapi ya sudah saja, bedanya hanya dulu aku memiliki emosional yang
sering naik turun. Tetapi hatiku tetap sama sampai saat ini, tetap rindu.
Kemudian aku berlalu dengan doa mulia dari bibirku, teruntuk ibuku.
Pada
saat itu pula suatu pandang yang lain bercakap pula tentang hidup ini. Seseret asa menggiring
langkah kakiku untuk kembali pada kehidupan yang kini adanya. Lagi, aku akan
senang jika harus mengulangi aktivitas baruku itu. Yaitu, menikmati setiap
tarikan hela nafas dan desir aliran darah serta denyut yang berirama itu.
Sudah
lama semenjak sepeninggal ibuku, aku merasa berjuang seterpa kulit saja.
Bekerja sambilan yang tak kunjung untung dan menekuni hobi menulisku yang juga
tak pernah rampung, pun tak pernah diterima oleh penerbit. Tetapi tetap saja ku
menulis setelah aku menjadi salah satu korban yang lolos atas tragedi Trisakti,
dan aku memutuskan menjadi wartawan.
1998
Pada
saat itu, aku telah bergabung dengan gerakan mahasiswa. Melakukan aksi
demonstrasi demi perubahan negeri ini. Ibu yang sedang sakit menelfon kala pagi
sebelum aku mulai aksi demonstrasi. Beliau berpesan agar aku pulang saja ke
rumah, tetapi aku menolak dengan lembut maksud hati ibuku. Ku pikir Ibu tentu
khawatir, namun atas solidaritas dan demi merubah nasib negeri ini, aku tak
bisa tinggal diam menyaksikan porak poranda di bawah pemerintahan Soeharto.
“Kita
harus menyusun strategi matang untuk pergerakan ini, benar benar sampai titik
darah penghabisan”. Dewan Ketua pemimpin rapat berkata dengan kilat semangat di
matanya, dan dada yang degupnya membuncah sampai ke dinding ruang rapat. Kami
para anggota mendengarkan dengan seksama untuk aksi yang tidak bisa dibilang
main-main ini, misi menggulingkan Soeharto dari. Tahun 1998, menorehkan sejarah
lembar hitam pada negeri Indonesia ini.
2019
“Sampai
titik darah penghabisan!”. Kata kata itu masih terngiang sampai saat ini. Aku
tak pernah berhenti bersyukur atas hidupku saat ini, menyaksikan perkembangan
dari satu generasi ke generasi lain, menanamkan sikap nasionalis yang ku
bungkus sedari dulu dalam benihnya. Kelak di tabur pada jiwa jiwa anak bangsa
Indonesia. Pagi yang cerah, digelarlah sebuah perlombaan menulis cerita untuk
tingkat SMA sederajat. Aku datang pada acara yang diselenggarakan di sebuah
hotel itu, datang sebagai narasumber ulik sejarah pahlawan nasional. Dan aku,
tak datang sekadar jadi seorang narasumber.
Mulai!
ku mulai aba-aba itu, memenuhi seluruh ruangan memimpin perlombaan menulis
cerita, sedang aku melihat seorang bocah berkeringat dingin. Ini kompetisi
pikirku, semua orang berpikir dan berusaha untuk menjadi juaranya. Kira kira
seperti itu. Namun lain dengan aku yang juga berkeringat dingin di sini.
Mengenang sebuah tema yang ku ciptakan sendiri, tema kali ini REFORMASI.
Posting Komentar