Ilustrasi : Freepik
Alarm yang bersua cukup
riang itu memenuhi setiap sudut ruangan pribadi milikku. Suaranya terdengar
sampai ke ruang tengah dan dapur. Di mana aku berada saat ini, tengkurap di
sopa panjang tepat di depan televisi. Aku cukup terganggu dengan nada klasik
itu, namun apalah daya pendengaranku teramat peka terhadap suara-suara bergenre
'pengganggu' tidur di pagi hari tersebut. Radarku menendang bantal sopa,
mendengus panjang sebelum akhirnya memanggil lirih nama sang pemilik alarm
tersebut, "Rayaa."
Percuma. Adalah satu
kesimpulan yang selalu diperoleh dari keluhanku ini. Dan Raya, perempuan itu
mana mungkin bangun meski ia sudah berkali-kali menyetel ulang
alarm-nya. Ia tetap terlelap di ranjangku yang empuk dengan pengatur
udara yang menghangatkan tubuhnya. Bahkan, Raya tidak pernah mengasihaniku
dengan berusaha mematikan alarm di ponselnya. Suara alarm, hujan dan petir
sekalipun tidak berpengaruh terhadap kepulasan tidur Raya. Ia tetap terlelap.
Terkadang, aku sampai hati mengomel mengenai suara itu, membangunkan Raya dan
mengusirnya dari tempat tinggalku. Meski akhirnya aku tidak tega dan mengalah
untuk mengantarkan ia pulang ke rumahnya.
Ketika seperti ini, aku
paling benci melihat jam. Mataku masih perih, masih berat untuk dibuka dan aku
menebak ini baru masuk jam kedua saat aku memutuskan untuk tidur. Tepatnya,
saat ini jam enam pagi. Aku lagi-lagi membuang nafas kesal karena alarm Raya
masih menyala. Dan tidurku tidak akan kembali nyenyak kalau tidak aku yang
menghentikan bunyi suara menyebalkan itu. Akhirnya, aku benar-benar pergi ke
kamarku dengan langkah yang gontai dan mata yang mengantuk, aku menghiraukan
apapun yang ada termasuk ketidak-sadaranku tentang keberadaan Raya yang lenyap
bak di telan bumi. Aku malah menghempaskan tubuhku di ranjangku. Sudah berapa
lama aku tidak tidur di kamarku sendiri sejak Raya merengek padaku untuk
membiarkannya menginap, kurasa hampir seminggu.
Mungkin, menghilangnya
Raya kini ia pergi ke kamar mandi atau hanya sekedar menyikat gigi. Dan, aku
tegaskan sekali lagi bahwa aku benci kebiasaan Raya yang tidak mematikan
alarm-nya. Terserah ia mau melakukan apa di kamarku, tapi aku selalu meminta
Raya agar ia mematikan alarm-nya, itu pun tidak pernah bisa ia sanggupi. Dasar
payah!
Aku berhasil melanjutkan
tidurku dengan bau tanah yang perlahan-lahan kuhirup kenikmatannnya. Memang,
saat ini hujan sedang berlangsung di luar. Cukup deras karena setahuku bulan
Oktober sudah memasuki musim penghujan. Berbahagialah bagi pengagum hujan dan
rindu. Kalian akan merasakan kerinduan yang tak beralasan saat hujan turun.
Tapi bagiku, setelah menarik kesimpulan dari konotasi negatif mengenai hubungan
hujan dan rindu dengan orang-orang yang mengenang dua nama itu adalah suatu
pengalihan kata-kata bahwa mereka semua tidak mampu mengungkapkan semua
perasaan yang berkecambuk di dalam hatinya. Termasuk aku, sial! Ya, mereka
tidak mengakui bahwa mereka telah kalah.
Lupakan hujan dan rindu.
Karena aku baru tersadar bagaimana aku bisa menghirup bau hujan ini? Fentilasi
dan jendela tidak mungkin dapat menghantarkan bau hujan seperti ini kalau dua
benda itu tidak terbuka. Dan siapa yang membuka jendela balkon sepagi ini?
Dengan terpaksa aku membuka mataku. Melihat Raya berada di balkon bersama
hujan. Aku bangun, menggelengkan kepala dan mengucek-ucek mata. Sekali lagi aku
melihat bahwa Raya benar-benar berada di balkon bersama hujan dan udara sejuk
nan dingin. Aku menguap dahulu, sebelum melangkah ke arah balkon dan akhirnya
mengambil jaket levis milik Raya.
Aku menyembulkan
kepalaku keluar kamar, mendapatkan Raya dengan tatapan mengawang menatap pot
bunga kecil yang berbunga aster cukup indah dengan warna-warni yang ada
padanya. Aku berhenti berniat memarahinya di pagi hari ini, karena kudapatkan
kembali Raya berwajah sedih. Tidak ada guratan kebahagiaan di mata atau
bibirnya dan ia seperti itu sejak datang ke tempat tinggalku beberapa hari
lalu. Dengan dalih, ayah dan ibunya sedang keluar kota, sementara ia malas
berargumen dengan kakak laki-lakinya mengenai tugas akhir kuliahnya yang entah
kapan selesai. Padahal aku mengetahui mengapa Raya seperti itu -yang mungkin
mengakibatkan terhambatnya tugas akhir kuliah Raya- tapi tidak pernah aku
sampaikan pada salah satu keluarganya. Aku menjadi bisu saat Raya menampakan
kemurungannya padaku. Aku tidak pernah mampu menasehati Raya untuk bangkit dari
rasa sakit hati karena dikhianati oleh sang pangerannya.
"Raya,"
Ia menoleh ketika aku
memanggilnya sekali. Dengan sahutan dagu ia bertanya padaku, "Ada
apa?"
"Aku rasa kamu
butuh jaket, diluar dingin."
Aku menyodorkan
jaketnya, ia melihatnya, tapi ia hanya diam. Gerak tubuhku memang tidak pernah
menampakan bahwa aku tertarik padanya. Aku teramat cuek pada sesuatu yang
menurutku bukan milikku, bukan siapa-siapa aku.
Tapi untuk Raya, dia
lebih dari itu. Dia adalah perempuan yang kutemui sedang menangis setelah
dipukul sang kakak karena tidak mau disuruh membeli rokok dan kopi untuk
teman-teman kakaknya yang sedang main, termasuk aku. Dia adalah perempuan yang
aku ketahui menyukai teman sekelasku sewaktu kuliah namun tidak pernah
digubris. Dia adalah perempuan yang baru saja patah hati karena dikhianati oleh
sang kekasih. Dia adalah alasanku untuk tidak pernah berkencang dengan
perempuan lain. Dia adalah perempuan yang diam-diam aku sukai, aku kagumi tapi
tak pernah aku kasihi. Ya, aku tidak pernah mengasihaninya. Aku selalu
bersikap cuek dan tidak
tertarik padanya, agar Raya tidak mengetahui bahwa aku menyukainya.
Raya mengembangkan
senyumannya, aku terpanah, namun dapat aku kendalikan gejolak dalam hatiku.
"Udaranya sejuk dan dingin tapi kalau tidak memakai pakaian hangat
ternyata bisa membunuh juga." katanya masih enggan melunturkan senyuman.
Aku tersinggung dengan
kalimat Raya. Sepertinya ia berhasil menancapkan panah di titik hitam dalam
sanubariku. Seakan-akan ia memberitahu bahwa sebuah hubungan tanpa ikatan itu
tidak berarti apa-apa. Aku tersenyum getir menanggapi itu, sebelum akhirnya
menjawab, "Makanya kamu pakai jaket biar ga dingin, nih." kataku
menggerakan jaket di tanganku agar Raya cepat mengambilnya.
Dia diam, menatapku
kosong dan malah bersuara, "Ka Evan.. Aku mau pulang."
Raya malah memintaku
untuk mengantarnya pulang ke rumahnya, membuatku menarik jaket levis milik Raya
itu ke dalam pelukanku. Aku menatapnya sebentar, penuh penat aku mencoba memahami
sikap Raya. Tak pernah bisa menyatu dengan sikap egoku yang tidak mau mengalah,
sampai-sampai aku menghembuskan nafas dalam-dalam.
"Ahhh.. Baiklah.
Aku mau mandi dulu."
Aku, Evan Qiandra.
Laki-laki yang baru saja melambaikan tangan kepada Bayu, teman sewaktu smp.
Bayu adalah kakak kandung dari Raya. Usia kami sudah menginjak 25 tahun tapi
kami masih betah sendiri. Masih asik dengan dunia pekerjaan dan begadang,
enaknya menjadi aku dan Bayu ketika hanya tunjangan keluarga sajalah yang
membebani pengeluaran bulanan gaji kami. Selebihnya, aku dan Bayu memakainya
untuk bersenang-senang dan sedikit menabung. Dan saat ini Bayu sedang berdiri
di depan gerbang rumahnya, sengaja menyambut aku dan Raya. Melihat sang kakak,
Raya malah menunjukan wajah mendung padaku. Sepertinya Raya kesal karena aku
menghubungi Bayu untuk menyambut kepulangannya. Alhasil, Raya tidak mengucapkan
terima kasih dan tidak ada senyuman manis seperti biasanya. Perempuan itu
langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya.
Tersisa aku dan Bayu.
Kami mengobrol sedikit mengenai Raya yang menginap di apartemen milikku dan aku
selaku teman baik Bayu meminta maaf karena tidak memberitahu keberadaan Raya.
Dan Bayu memaklumi, ia hanya mengangguk mengerti setelah aku menjelaskan maksud
Raya menginap di tempat tinggalku.
"Raya tumbuh
menjadi gadis yang manja." kata Bayu memberitahuku.
"Tapi, terkadang
dia juga dewasa." tambahku.
"Gue ga tahu
itu."
"Karena kalian selalu
bertengkar, cobalah untuk mengalah. Lo adalah seorang kakak bagi Raya, dia
butuh tempat berkeluh kesah."
Bayu diam, kemudian
bicara, "Kan ada lo..."
"Gue cuman teman
kakaknya, ga lebih."
"Tapi lo suka Raya
'kan?"
"Itu bukan nilai
plus selama Raya cuman biasa aja ke gue."
"Payah lo! Apa
harus gue yang bilang ke Raya?"
"Ngga perlu."
"Buat Raya jatuh
cinta mudah kok.."
"Tapi sekarang
waktunya ga tepat, Raya harus pulih dulu dari permasalahannya.."
Bayu hanya menaikan
kedua bahunya kemudian menjatuhkannya dengan cepat. Bayu juga menepuk-nepuk
pundakku pertanda ia selalu mendukung semua usahaku meski dengan cara salah
sekali pun seperti bersikap tidak tertarik pada Raya. Entahlah, apa yang
sesungguhnya terjadi. Sejak dahulu aku selalu menunggu Raya sembuh dari luka
hatinya, luka-luka yang ia keluhkan saat bersamaku. Penderitaan cinta bertepuk
sebelah tangan atau dikhianati kekasih itu selalu menjadi topik perbincangan
aku dengan Raya. Entah sudah berapa laki-laki yang telah Raya ceritakan padaku
sebagai laki-laki yang ia taksir, selama itu pula aku menahan perih di lubuk
hati. Rasanya nyeri dan tidak karuan, ingin marah namun tak pernah kesampaian.
Terkadang, aku bosan dengan cerita-cerita Raya tentang lakiaki yang ia taksir.
Aku mengira dengan bersikap cuek, Raya bisa menjaga jarak dan tidak
bercerita lagi, tapi yang ada Raya malah menangis-nangis di depanku saat waktu
berpisah dia dan kekasihnya tiba.
Berikutnya, ponselku
bergetar pertanda ada pesan masuk dan itu dari Raya. Isinya sangat singkat,
padat dan jelas. Hanya satu kalimat yang terdiri dari beberapa kata dan itu
membuat hatiku mencelos begitu saja tanpa pembedahan terlebih dahulu. Sehingga
aku dapat membayangi sedang apa Raya saat ini di dalam kamarnya.
Pesan masuk dari Raya:
"Ka Evan.. Aku
benci semua laki-laki."
Kemudian, Raya mengirim
pesan kembali:
"Aku benci ayah, Ka
Bayu, Jeno, Ka Rafly, semuanya. Dan baru saja aku putus dengan Roy!"
Kata Raya menyebutkan
nama laki-laki yang ia benci. Aku tersentak ketika Raya menuliskan kata
'semuanya' pertanda aku pun termasuk laki-laki yang dibencinya. Cukup tahu aku
bagaimana perasaan Raya saat ini. Entah masalah apa sehingga ia sangat menaruh
dendam pada semua laki-laki, terlebih ayah dan kakaknya. Seharusnya Raya tidak
begitu, seharusnya Raya masih memberi maaf pada Ayah dan kakaknya sekalipun dua
laki-laki itu teramat sering mematahkan hatinya.
Dengan sigap aku
membalas pesan Raya:
"Besok kita bicara,
dek. Kamu istirahat dulu, jangan memikirkan apapun."
Besoknya aku tidak
bertemu dengan Raya, kucari di rumahnya ia tidak ada. Ponselnya tidak aktif dan
Bayu juga tidak mengetahui keberadaan adiknya. Sudah hampir tiga bulan Raya
menghilang. Aku kalang kabut dibuatnya khawatir. Kutinggalkan semua pekerjaan
dan keperluan hanya untuk mencari Raya. Hingga pada waktunya tiba, teman dekat
Raya menghubungiku bahwa ia melihat Raya bekerja di sebuah restaurant dan ia
menjadi seorang pelayan. Pikiranku langsung bertuju untuk menemuinya, tidak
berpikir untuk apa Raya bekerja sebagai pelayan? Bahkan keluarga Raya cukup
mampu untuk menghidupi Raya sampai dua puluh tahun ke depan tanpa Raya bekerja
sekali pun.
Aku mendatangi tempat
kerja Raya tapi tidak menemuinya. Aku melihat Raya dari kejauhan, melihat
bagaimana ia menjalani hidupnya selama beberapa bulan belakangan ini. Dengan
kungkungan aturan yang perlu dipatuhi ia mondar mandir melayani para pembeli,
menghiraukan orang-orang yang mengenalnya. Tapi Raya tidak mendapatkanku telah
mengunjunginya. Malang sekali!
Aku tidak pulang.
Sebaliknya, aku menunggu Raya keluar dari penjara pekerjaan yang ia buat
sendiri. Raut wajahnya letih, jalannya tidak bergairah, entah kemana Raya akan
merebahkan tubuh lelahnya itu. Sampai pada persimpangan jalan, Raya disambut
oleh anak-anak jalanan yang meminta jatah makanan. Kisaran usia 12 tahun ke
bawah, beberapa anak jalanan itu menyapa Raya. Aku jadi mengetahui alasan Raya
membeli banyak bungkus nasi di warung makan sederhana tadi. Dengan beralihnya
detik setelah raungan anak-anak jalanan itu Raya menarik dua sudut bibirnya.
Mencoba menampakan wajah sumringah meski lelah. Kemudian, Raya menghamparkan
dirinya bersama kerumunan anak-anak jalanan tersebut. Membagikan nasi bungkus
dan makan bersama mereka di kolong jembatan.
Aku mengerutkan dahiku
-tidak habis pikir. Maghrib menemaniku memandangi Raya dari kejauhan. Sampai
sejauh ini aku masih tidak mempunyai alasan mengapa Raya memutuskan mengambil
kehidupan seperti itu. Raya meninggalkan kehidupan mewahnya, menelantarkan
tugas akhir kuliahnya dan membiarkan keluarganya khawatir. Ingin rasanya aku
menarik pergi Raya dari sana, namun sekali lagi tidak bisa. Apalagi ketika aku
melihat ada seorang laki-laki -mungkin seusiaku- menghampiri Raya.
Baik Raya dan laki-laki itu sepertinya sudah cukup akrab, mereka tersenyum ramah.
Akhirnya, Raya mengajak laki-laki itu bergabung bersama mereka.
Aku tertawa sekali
sebelum akhirnya menggelengkan kepalaku masih tidak menyangka. Bayu benar,
untuk membuat adiknya jatuh cinta sangat mudah bahkan ia tidak perlu penawar
rasa sakit untuk mengobati hatinya. Dan aku keduluan lagi dengan laki-laki
entah siapa di sana, entah bagaimana latar belakangannya. Cukup puas aku
mendapatkan kabar dari Raya, entah mau seperti apa Raya mendikte hidupnya. Aku
sama sekali tidak mengerti, sesuka hati ia memporak-porandakan perasaanku
selama ini. Terserah Raya tapi aku tetap kembali pada kehidupan normalku. Yang
menunggu perempuan itu entah sampai kapan.
Suatu hari dan ini masih
pagi, aku baru tidur dua jam. Suara alarm yang kurindukan terdengar, kali ini
bukan berasal dari kamarku karena aku sendiri berada di sana dan tanpa
kehadiran Raya. Aku acuhkan rasa kantukku, mencoba mengembalikan titik
kesadaranku. Aku tidak mau ini hanya mimpi lagi, aku tidak mau Raya hanya
menjadi bayang-bayangku saja. Aku hampir menjadi orang gila tanpa Raya yang
sesekali mengusik hidupku. Dengan suara 'pengganggu' tidur di pagi hari itu
terdengar, aku berharap Raya berada di apartemenku saat ini. Berharap,
berharap, karena aku sangat merindukannya.
Aku terkesiap ketika
baru saja melewati bibir pintu kamarku, mendapatkan suara alarm menyebalkan itu
semakin kentara aku dengar dan Raya terkapar di sopa panjangku. Ternyata ia
masih hafal kode apartementku, karena sengaja aku tidak menggantinya, aku
berharap Raya datang tiba-tiba seperti saat ini. Aku menghela nafas sesak,
rasanya sedikit perih mendapatkan Raya tertidur pulas di sana. Pelan-pelan aku
terjatuh di lantai, tidak kuat menahan lemahnya lututku untuk tetap berdiri.
Aku terjatuh di depan Raya. Diam diam mengamati wajah Raya, mencengkram semua
penyesalan yang pernah dirasakan. Raya benar-benar kembali, ia mengalah dengan
egoku yang tidak pernah menyerah menyakitinya. Raya mengalah!
Sulit aku mengatur nafas
saat ini, ingin menangis tapi tak mau Raya pun mengetahui. Selama ini sudah
cukup aku menyiksa Raya dan diriku sendiri. Aku mempertuhankan ego hingga
membuat aku dan Raya saling tidak karuan merasa. Aku menyukai Raya namun gengsi
untuk memperjuangkannya. Egoku selalu berkata bahwa Raya-lah yang harus
memperjuangkan aku. Mudah bagi aku membuat Raya jatuh cinta karena melihat Raya
pun sangat mudah pindah ke lain hati. Tapi untuk mencapai itu, Raya tidak
pernah menampakkan tanda-tanda bahwa ia jatuh cinta. Hingga aku hanya bisa
bersikap biasa saja padanya. Sudah cukup, aku lelah dengan egoku sendiri.
Alarm Raya berhenti dan
perempuan itu tiba-tiba membuka matanya. Aku mematung tidak sanggup melakukan
apapun meski hanya menghembuskan nafas. Raya menatapku heran, dahinya berkerut.
Akhirnya, ia beranjak duduk seraya menguap dan kembali melihatku.
"Ka Evan?"
Panggilnya dengan nada
serak. Aku menghembuskan nafas kencang, mencoba mengumpulkan energi untuk
mengungkapkan perasaan yang mendominasi sejak Raya menghilang hampir dua tahun
lamanya.
"Lupa kamu untuk
pulang?!" tanyaku sedikit memarahi. "Tega ya kamu tidak menghubungi
ayah-ibu dan Bayu?
Kemana saja, hah?" lanjutku kesal.
Raya melongo dahulu,
mungkin ia terkejut karena tiba-tiba saat ia terbangun mendapatkan banyak
hujatan dariku. "Aku bilangkan besok kita bicara, bukan berarti aku
menyuruhmu diam dan pasrah. Aku suruh kamu istirahat, bukan malah
menghilang.." jelasku mengungkit kejadian hampir dua tahun lalu.
"Kamu menelantarkan skripsimu dan membuatku khawatir. Kamu sadar tidak,
banyak orang yang berharap atas hidup kamu, kamu malah pergi entah kemana. Aku
khawatir Raya!" tambahku mengomelinya.
Raya kali ini tersenyum,
sekarang aku yang bingung. "Sudah mengomelinya?"
"Belum."
"Tapi aku boleh
menanggapi kamu dulu, kaa?"
"Silahkan.."
Raya kembali tersenyum.
Posisi kami masih seperti awal, Raya duduk di sopa sedang aku di lantai. Masih
menengadah jika aku ingin melihat wajahnya.
"Dulu, bukan
jawaban 'kita harus bicara' yang aku butuhkan. Saat aku mengirim pesan seperti
itu aku ingin sekali ada yang memelukku, aku ingin berteriak, aku ingin pergi
yang jauh dari rumah." katanya memulai. "Ka Bayu bukan seperti kaka
yang mau memdengarkan keluhanku. Ayah dan ibu sibuk bekerja, aku benci
mereka." tambahnya.
"Tapi menghilang
tanpa kabar bukan alasan, Raya!"
"Selama hampir dua
tahun ini, aku hanya tidak menghubungi ka Evan.."
"Apa?" tanyaku
terkejut. "Apa maksud kamu?" tanyaku lagi sampai-sampai berdiri.
Raya yang sekarang
menengadah, tapi dengan sigap ia memegang tanganku untuk kemudian ditariknya
dan menyuruhku untuk duduk.
"Duduk kaa.."
Aku pun duduk di
sampingnya.
Raya tersenyum dahulu
karena aku menurut, "Ka Evan tahu.. alasanku bergonta ganti
pasangan?"
Aku diam.
"Alasanku adalah
kaka. Aku memutar otak bagaimana bisa aku membuat kaka cemburu, tapi ternyata
kaka malah bersikap tidak tertarik padaku. Hatiku hancur ka.. mempermainkan
hati banyak laki-laki.."
"Kamu bohong,
kan?"
"Meskipun ka Evan
meyakini bahwa itu kebohongan, tapi aku melakukannya berkali-kali dan mungkin
bisa menjadi sebuah kebenaran. Dan itulah kebenarannya.. aku menyukai kaka
sejak pertama kali kita bertemu. Ketika hanya satu orang yang melihatku iba
saat ka Bayu memukulku karena aku tidak menurut dan orang itu adalah ka
Evan."
Aku diam. Mendengar Raya
bercerita keluh seperti itu seakan-akan hati dan otakku remuk seketika. Aku
menyesali sikapku karena tidak pernah memahami maksud Raya selama ini. Bodoh
karena terlambat mengerti. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Raya.
"Sekalipun kaka
menyuruhku menunggu agar kita bisa bicara besok. Kaka ga pernah datang dan
bicara padaku, meski aku tahu kaka sudah menemuiku, 'kan? Beruntung ka Bayu
bilang kalau kaka menyukaiku juga, jadi aku tetap menunggu.'
Untuk perkataan Raya
yang satu ini aku merasa sangat bersalah. Aku seperti penjahat yang memutilasi
kepercayaannya. Raya diam-diam menungguku, tanpa aku ketahui, tanpa aku melihat
Raya dengan rasa. Ternyata dia yang paling menderita.
"Maafkan aku,
dek."
"Berdamailah dengan
diri kaka, aku tidak suka kaka terlalu berpikir menggunakan ego."
"Ingatkan aku
karena itu, dek."
"Aku tidak mau
mendikte hidup kaka, belajarlah untuk mandiri."
"Dampingi aku,
dek."
Raya tersenyum sembari
menutup telinganya sepertinya ia merasa geli dengan sahutan
sahutanku.
"Selanjutnya, kamu
harus wisuda."
"Aku sudah wisuda
setahun lalu, aku juga sudah mengajar di sebuah sekolah."
"Serius? Aku kok
gatau.. Bayu juga ga bilang sih."
"Aku pergi dari
rumah juga karena diusir oleh ka Bayu, dia ga bilang juga?"
"Badjingan."
Posting Komentar