Foto : LPM FatsOeN/Fathnur Rohman

“Jadi aktivis tapi anarkis, melanggar hukum namanya,” kata mahasiswa berbaju batik yang menyaksikan para demonstran itu seraya menghirup es teh di warung kopi pinggir jalan.

Rupanya, sinar matahari yang menimpa ubun-ubun para demonstran tidak membuat aksinya tersebut gusur, bahkan itu seoleh menjadi energi bahan bakar semangat atas bentuk kepedulian mereka, barangkali. Aksi mereka membuat jalanan macet.

Para mahasiswa yang berlalu lalang sekedar memasang wajah polos. Barangkali,mereka baru pertama kali melihat para demontsran—aktivis mahasiswa—berdialek dengan pengeras suara di tangannya. Banyak yang mengabaikan tapi ada juga yang sedikit simpatik meski hanya memotretnya menggunakan handphone untuk dokumentasi pribadi.

“Barangkali itu satu-satunya cara mereka menyampaikan kepedulian, rasa keadilaan, untuk kepentingan kampus kita,” sanggah mahasiswa berkemeja yang duduk di depan mahasiswa berbatik itu.

Bukan hanya di depan gerbang yang terjadi kemacetan, juga di dalam gerbang. Pintu gerbang disegel hingga membuat para mahasiswa yang ingin keluar tidak diberi kesempatan. Salah seorang demonstran melemparkan batu kekaca mobil bis kampus itu.

“Sekarang bukan zaman tahun sembilan delapan. Mereka berdemo tapi suara mereka bisa merubah keadaan. Nah ini, hanya merusak fasilitas, suara mereka ingin didengar yang memembuat decak kagum dan tepuk tangan yang melihatnya. Tapi setelah semuanya selesai, mereka pasti lupa apa yang telah diucapkan mereka itu,” ujar mahasiswa baju berbatik itu bernada sinis.

Sepertinya aksi para demonstran itu tidak ada yang meredam. Para satpam hanya terdiam. Diamnya itu seolah memberi dukungan—atau tidak berani menghentikannya karena jumlah mereka kalah banyak. Beberapa polisi juga terlihat sudah berjaga-jaga tapi hanya berdiam dan melihat aksi mereka seperti melihat balita marah berteriak meminta mainan baru.

“Kamu jangan memandang dari sisi yang berbeda saja,” sahut mahasiswa berkemeja lagi. “Kalau mereka tidak melakukan demo-demo tersebut, sama saja menyilakan ‘para tikus’ di kantor menjilat uang sesukanya.”

Mang, si empunya warung kopi itu, hanya menyimak aksi para demonstran tersebut sambil menguncer secangkir es kopi di warung kopinya yang dipesan mahasiswa berkemeja itu—tidak jauh dari tempat kejadian. Teriakan-teriakan para demonstran terdengar keras mengalahkan riuk-pikuk kendaraan.

Bukan hanya menyalurkan melalui suaranya yang melengking itu, tapi juga beberapa tulisan spanduk menggunakan pilok hitam, terlebih lagi, mereka menyoret-nyoret di dinding pagar gerbang yang baru dicat kemarin. Di antaranya tertulis; “Kembalikan Hak-hak Mahasiswa”, “Dasar Pejabat Rektor Korupsi Sialan”, juga tulisan yang membuat menyita perhatian “—Kampus Ini—DISEGEL TUHAN!”

“Saya lebih menyukai para penulis dari pada para demonstran. Para demonstran hanya berteriak-teriak tak jelas. Sedang para penulis, mereka berdomo dengan menggunakan tulisan yang bisa dibaca dan disaksikan di mana pun,” kritik mahasiswa berbatik lagi.

Di depan gerbang, asap-asap terus mengepul dari ban-ban yang dibakar. Asap hitam itu terlihat mengerikan layaknya asap api neraka yang dibayangkan oleh para pendosa; ganas menyebar seantero atmosfer kampus dan jalanan di sekitarnya. Dan, seolah-olah memberi peringatan bahwa ‘manusia yang berpenyakit paru-paru dilarang lewat’ di sekitar para demonstran dalam aksi yang katanya dalam bentuk kepedulian hak-haknya tersebut.

“Untuk melihat dunia bukan hanya membaca dan menulis, mereka memiliki jiwa sosial yang baik yang bisa terjun ke lapangan, bukan hanya duduk-duduk membaca buku saja kerjaannya. Memang kamu itu penulis?” sanggah mahasiswa berkemeja itu yang pemikirannya sangat bertolak dengan mahasiswa berbaju batik di hadapannya.

“Bukan! Terus kenapa kamu juga tidak ikut terjun bersama mereka. Kamu aktivis?”

“Bukan!”

“Apa yang telah mereka lakukan itu hanya membuat masalah baru, bukan menyelesaikan masalah. Apa yang mereka lakukan itu seperti anjing yang tak kebagian makanan lalu menggonggong, nanti juga giliran dilempar tulang mereka diam. Lagian, toh di negeri kita kan sudah ada penegak hukum, biar saja mereka yang bekerja.”

Bukan hanya para demonstran yang memanas, kedua mahasiswa berbeda prosfektif ini pun beradu pemikirannya. Sampai kapan pun, sepertinya perdebatan kedua mahasiswa ini yang belum jelas latarbelakangnya—hingga bisa bicara seperti itu—tak akan ada buntunya.

Si Mang, menyimak apa yang mereka obrolkan. Bagi orang awam sepertiMang, yang hanya sebagai pedagang kopi di pinggir jalan itu. Tentu pemandangan seperti itu sungguh membosankan. Rupanya, orang-orang yang hidup di kota jauh lebih keras dari pada mereka di kampung. Di kota, bukan hanya raganya yang bergerak, pemikiran idealis yang tidak dipahamidan dimengerti oleh si Mang juga lebih keras di keluarkan. Tapi, mau tidak mau,pedagang kopiitu harus melihat arus yang bergelombang dan berusahatanpa harus mengikutinya.
Es kopi yang dipesan mahasiswa berkemeja ituiataruh di mejanya, lalu mencoba masuk dalam pembicaraan mereka, “di kampung saya, kalau ada pertikaian atau masalah apa pun, mereka datang dengan baik-baik, membicarkannya dengan kepala dingin sambil menghirup kopi di warung kopi saya dulu sebelum saya pindah ke kota ini. Mereka membicarakan langkah-langkah dan risiko-risikonya. Beres tanpa anarkis dan tulis menulis.”

“Ini lagi si Mang ikut campur saja kritik sana kritik sini tanpa ingin campur tangan,” mahasiswa berkemeja kembali bersuara. “Kalau di kampung itu bisa menyelesaikan masalah kenapa si Mang susah-susah cari makan di kota orang ini.Bukannya di kampung juga si Mang bisa hidup, makan dan menjadi wadah mereka yang disebut si Mang tadi. Berarti mereka sudah tidak bisa lagi menyelesaikan masalah sambil ngopi di warung kopinya si Mang dong.”

“Nah kalian berdua, aktivis bukan, penulis pun bukan, juga hanya bisa kritik sana kritik sini, suara kalian juga tak jauh berbeda seperti mereka, tak mengubah apapun!” kata si Mang sambil bergegas kembali ke dalam warung kopinya.

Tak lama seorang perempuan berjilbab datang memesan es teh kepada si Mang seraya berkata, “Mang, ada apa sih ribut-ribut?”

“Biasa, pertunjukan drama di pinggir jalan!”

Penulis : Ari Irawan
Banyak orang yang menjalin cinta, tapi tak mengerti apa itu cinta. Katanya, cinta itu bisa buat orang buta, bahkan sampai gak pakai logika. Tapi apalah kata orang, aku tak peduli. Setahuku, cinta itu tidak memerlukan ribuan untaian kata yang mengalun indah. Ya, untuk apa kata-kata, jika perilaku tidak menunjukkan bahwa aku jatuh cinta.

Malam ini, rasa rindu membangunkan tidurku yang lelap. Rasa malas begitu pekat menyelimutiku, tapi rindu itu terus saja mengusik nadiku. Ah, rindu benar-benar menyiksaku. Haruskah aku terbangun tengah malam seperti ini hanya untuk merindukannya? Dia, ya dia, lelaki yang selalu saja hadir di dalam pikiranku.

“Astaghfirullah ya Allah, jam berapa ini?” desahku.

Suara detakan jam dinding di luar kamar ini terdengar begitu jelas setiap detiknya. Lampu-lampu rumah pun masih padam. Ku lihat langit di celah kaca kamarku; masih gulita. Terduduk aku termenung di tempat tidurku. Apa yang terjadi dengan hati ini? Ah, begitu lemah hati ini jika sudah disandingkan dengan problematika percintaan.

Ku coba untuk menenangkan diri. Kupejamkan mata secara perlahan. Mencoba bernapas dengan irama yang teratur. Menyenangkan. Angin berhembus begitu pelan, menyentuh kulitku dengan genitnya. Aku tersenyum. Udara malam begitu hangat menyapaku.
***
“Tuuuut,” ku beranikan diri untuk menghubunginya.

“Assalammu’alaikum,” suara di sebrang jalan sana terdengar begitu jelas.

“Wa’alaikumussalam,” jawabku gugup. Spontan saja telepon genggam ini ku berikan kepada Putra selaku pimpinan latihan. Aku tak tahu apa yang selanjutnya terjadi, yang ku tahu jantungku masih berdegup kencang. Ini kali pertamanya aku menghubunginya. Meskipun karena alasan latihan dan dia ‘aktor utamanya’, tapi entah mengapa, jantung ini berdegup tak karuan.

“Ini na,” suara Putra tiba-tiba meredakan detakan jantungku.

“Ah, udah tah?” tanyaku.

“Iya udah,” jawabnya singkat.

“Gimana katanya? Rizal mau ke sini?”

“Iya, katanya lagi di jalan,”

Sungguh, aku tak dapat menutupi rasa bahagia ini. Rasa, yang entah mengapa begitu menggebu-gebu, terasa bergejolak dan ah, sungguh tak karuan. Sepertinya pengadaan drama kelas ini akan memperpanjang waktu kebersamaanku dengannya. Ya meskipun kami tak pernah saling bicara, tapi aku bahagia. Bahagia melihatnya baik-baik saja.

“Hai zal!” suara Raka menyita penuh perhatianku. Spontan saja aku menengok ke arahnya. Tak kuasa dan tak bisa ditahan lagi, bibir ini terus saja menyunggingkan senyumnya. Aku bahagia melihatnya datang ke tempat ini. Lihatlah, ia berjalan ke arahku dengan membalas senyumanku. Dan aku? Entah mengapa kepala ini tiba-tiba mengangguk. Sorot mataku terfokus pada matanya. Ia terdiam sebentar dan membalas anggukanku dengan senyuman manisnya yang begitu meneduhkan hati. Ya, hanya dengan sebuah anggukan, kami pun sama-sama mengerti apa artinya itu. Mungkin orang lain tak tahu karena tak ada yang memperhatikan tingkah kami. Tapi inilah kenyataannya, bahwa kami bicara melalui isyarat.

“Ayo kita mulai latihannya!” suara Putra begitu jelas dan lantang. Ia memang selalu semangat setiap kali memimpin latihan. Tak salah kami memilih putra sebagai pimpinan latihan.
***
Detik berlalu begitu cepat. Suara adzan menghentikan latihan kami di sore hari ini; sudah waktunya istirahat. Ya, semua kesibukan terhenti begitu saja. Kini semua orang mengganti kesibukannya masing-masing. Ada yang langsung menyambar tasnya dan pergi ke Masjid, ada yang mendekati warung makan terdekat, ada pula yang hanya diam di tempat semula.

Rizal sudah menghilang. Ia lebih memilih untuk pergi ke Masjid. Aku hanya duduk di atas tembok yang sengaja dibangun untuk dijadikan tempat duduk ini. Sambil senderan aku memulai kebiasaanku; melamun.

Sekitar sepuluh menit sudah waktu istirahat ini berlalu. Rizal pun sudah kembali di tempat latihan. Ya, aku melihatnya datang dari gerbang. Dan lagi, senyum tersungging di bibirku saat melihatnya kembali.

Aku memperhatikannya dari sini, dari kejauhan. Ia datang dan meletakkan tasnya di tempat semula. Kemudian ia memulai percakapan bersama Raka. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti mereka terlihat asyik dengan percakapan itu. Namun percakapan mereka tidak berlangsung lama. Ku lihat Raka pergi meninggalan Rizal. Sambil melambaikan tangan, ia pun melangkah menuju arah Masjid.

Tak lama dari kepergian Raka, Rizal menoleh ke arahku. Ah, ia baru sadar bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sungguh, aku salah tingkah saat itu. Ya, walaupun jarak kami jauh, tapi tetap saja aku salah tingkah saat ia menoleh ke arahku.
Ia tersenyum. Kemudian ia melangkahkan kakinya. Entah ke mana ia akan pergi sekarang. Aku tetap di tempat. Mataku sudah tak lagi memperhatikannya. Aku malu jika ketahuan terus memperhatikannya dari sini.

Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang duduk tak jauh di tempat aku terdiam. Langsung saja kepala ini menoleh ke arahnya. “Rizal?” jerit hatiku kegirangan. Dia benar-benar Rizal. Ia duduk sekitar setengah meter dari tempat dudukku. Ah, begitu bahagianya mengetahui ia berada di sampingku seperti ini.

Orang-orang mulai berdatangan kembali. Tapi kami, kami hanya diam di tempat ini. Tanpa suara, kami menikmati setiap udara yang berhembus. Tanpa bicara, aku bisa merasakan bahwa ia pun bahagia berada di tempat ini.

“Oh Tuhan, aku bahagia berada di dekatnya,” batinku, “biarkan kami menikmati rasa ini dalam diam. Dengan cara seperti ini pun aku sudah bahagia Tuhan,”

Waktu latihanku sebagai seorang pemusik sudah selesai. Begitupun dengan Rizal selaku aktor utama. Kami hanya ‘menonton’ teman-teman yang lain latihan dari sini. Jarang sekali kami bisa duduk berdua lama-lama seperti ini. Sungguh, hatiku bahagia.

Matahari mulai bergeser dari tempat asalnya. Sekarang cahayanya mulai menyorotiku melalui celah kecil yang terbentuk dari lubang genting bangunan ini. Aku mulai kepanasan.

“Ya Allah panas. Tapi gak mau pergi dari tempat ini,” keluhku dalam hati. Aku bertahan dari semua rasa panas ini. Aku bertahan, karena ingin di sampingnya hingga latihan ini harus usai.

Keringat pun mulai bercucuran dari kulitku. Memang, sorotan cahayanya tak seberapa mengenai tubuhku. Tapi panasnya begitu menyengat. Ada teriakan-teriakan marah dalam jiwaku; aku kepanasan.

Namun itu tak berlangsung lama. Sekarang aku bisa merasakan kesejukan kembali. Sejuk? Ya, ini memang terasa aneh. Tapi itulah kenyataannya. Ku lirikkan mataku ke arah sang mentari. Ah, pantas saja sejuk. Dia sengaja menengadahkan tangannya ke arah cahaya yang menyorotiku sedari tadi.

“Oh Tuhan, dia benar-benar pengertian. Terima kasih ya Allah,” ucap syukurku dalam hati.

Dia, sosok lelaki yang penuh pengertian. Bahkan tanpa diminta pun ia bisa mengerti apa yang aku butuhkan saat ini. Ah, hatiku penuh bunga-bunga. Rasa sayangku padanya semakin bertambah besar.
***
Tiba-tiba telepon genggamku berdering begitu keras, membuyarkan lamunanku yang menyenangkan ini. Dengan dahi yang berkerut, ku paksakan tangan untuk meraba-raba tempat tidurku. “Aha! Akhirnya ku dapati juga telepon genggam itu”.

“Aih, ternyata suara alarm,” ujarku pada diri sendiri, “alarm?” ucapku sekali lagi. Ku perhatikan baik-baik layar kecil telepon genggam yang sudah mulai ‘tertidur’ kembali. Ku nyalakan telepon genggam itu dan mengecek kembali alarm yang tadi berbunyi.

“Ulang tahun Rizal?” ucapku setengah kaget, “untuk itukah Engkau membangunkan tidurku Tuhan?”. Langsung saja kaki ini bergerak menuju kamar mandi yang letaknya tidak begitu jauh dari kamarku. Entah mengapa hati ini begitu ringan dan bahagia malam ini. Bayang-bayang lelaki itu terus saja melayang-layang di dalam proyeksi otakku.

Air yang mengalir di atas kulit ini terasa begitu dingin. Mengalir pelan seiring dengan gerakan tanganku. Mengalir, membasuh wajahku yang kering tanpa polesan bedak, membasuh tanganku yang juga kering tanpa sentuhan lotion, menyentuh sela-sela kulit kepalaku yang masih ditumbuhi rambut, dan terakhir, membasuh kakiku yang sama-sama kering tanpa sentuhan lotion.

Di hari yang masih gulita aku mengaduh; mengganti setiap tatanan rindu yang menggebu-gebu menjadi tatanan doa yang berjuntaian begitu indah. Malam ini rasa rindu itu datang dengan mengetuk pintu hati. Ah ya, sudah lama sekali aku tak berjumpa dengannya. Namun biarlah, biarkan Tuhan yang tahu aku tengah merindunya.

“Allah Tuhanku, malam ini, di sini, aku ingin mengadu padaMu. Di hari kelahirannya saat ini, rasa
rindu itu datang membangunkan tidurku. Tak apalah bagiku, karenanya aku bisa terbangun dan mendoakannya di sini. Tuhan, pintaku hanya satu, cintailah ia selalu dengan cintaMu yang begitu agung, agar setiap hembusan napasnya hanya bertasbihkan namaMu. Tuhanku yang Maha Bijaksana, lindungilah ia selalu di sana. Tegurlah ia dengan teguranMu yang lembut jika ia berbuat salah. Ampuni segala dosanya. Aku menyayanginya, menyayanginya karenaMu ya Allah, Engkau yang telah menumbuhkan rasa ini di dalam dadaku. Semoga Engkau memberikan keberkahan atas umurnya saat ini. Aamiin yaa Rabbal ‘alamiin,” ucap doaku sepanjang malam ini.


Penulis : Tira Nazwa Aliyyah
Ilustrasi : Merdeka.com
Ingatlah suatu saat kalian tetap haus berjuang
Sampai titik darah penghabisan
Sampai kalian tak merasakan gerak tulang kalian
Sampai kalian tak merasakan tegap atau membungkuk
Sampai pada saat itulah kalian berjuang bukan berceai-berai.

2002
Ibuku sudah tiada semenjak 4 tahun yang lalu. Itu kali pertamanya aku merasakan kehilangan yang begitu dalam. Kini aku tinggal hanya bersama ayah dan abangku saja. Melanjutkan kuliah dan bergaul nakal, sama seperti mahasiswa lainnya.

Pagi itu, kala angin masih sedingin malam. Kala daun masih merangkul embun bagai basah dahan kayu atas hujan. Terlebih lagi kala mata ini baru saja terbit. Pada saat itu mungkin sejenak akan ada. Pada saat itu suasananya masih asri, aroma khas mampu dicium hingga sehatnya memenuhi paru paru. Membiarkan telapak kaki menyentuh jalan dingin pun terasa segarnya pula. Membiarkan helaian rambut menyapu muka dengan manja, sedangkan dada sesak dengan kekaguman. Gerakan itu mulai terulang, berjalan, merentangkan tangan, mengangkat bahu, dan menghirup udara. Segar! Memang tak pernah sesegar ini sebelumnya. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya aku melewati jalan ini dan kini aku tersenyum bagai janggal karena jarang dirasa sehingga membuncahlah rasa itu menakjubkan bagai merasa bebas!
“Dulu juga pernah lewat sini”, dialogku dalam hati. Di sini, Jl. Jend. S. Parman. Namun, ya, aku tahu kala itu suram, sehingga tak dilanjutkannya dialog itu demi untuk tidak merusak suasana hatiku saat ini.

Aku berbalik ketika jalan sudah habis kutapaki, merenungkan kelakuanku kembali. Aku terduduk kala itu, membuka pandang bahwa pada saat ini sudah bukan aku yang dulu lagi. Tapi ya sudah saja, bedanya hanya dulu aku memiliki emosional yang sering naik turun. Tetapi hatiku tetap sama sampai saat ini, tetap rindu. Kemudian aku berlalu dengan doa mulia dari bibirku, teruntuk ibuku.
Pada saat itu pula suatu pandang yang lain bercakap pula tentang hidup ini. Seseret asa menggiring langkah kakiku untuk kembali pada kehidupan yang kini adanya. Lagi, aku akan senang jika harus mengulangi aktivitas baruku itu. Yaitu, menikmati setiap tarikan hela nafas dan desir aliran darah serta denyut yang berirama itu.

Sudah lama semenjak sepeninggal ibuku, aku merasa berjuang seterpa kulit saja. Bekerja sambilan yang tak kunjung untung dan menekuni hobi menulisku yang juga tak pernah rampung, pun tak pernah diterima oleh penerbit. Tetapi tetap saja ku menulis setelah aku menjadi salah satu korban yang lolos atas tragedi Trisakti, dan aku memutuskan menjadi wartawan.
1998

Pada saat itu, aku telah bergabung dengan gerakan mahasiswa. Melakukan aksi demonstrasi demi perubahan negeri ini. Ibu yang sedang sakit menelfon kala pagi sebelum aku mulai aksi demonstrasi. Beliau berpesan agar aku pulang saja ke rumah, tetapi aku menolak dengan lembut maksud hati ibuku. Ku pikir Ibu tentu khawatir, namun atas solidaritas dan demi merubah nasib negeri ini, aku tak bisa tinggal diam menyaksikan porak poranda di bawah pemerintahan Soeharto.

“Kita harus menyusun strategi matang untuk pergerakan ini, benar benar sampai titik darah penghabisan”. Dewan Ketua pemimpin rapat berkata dengan kilat semangat di matanya, dan dada yang degupnya membuncah sampai ke dinding ruang rapat. Kami para anggota mendengarkan dengan seksama untuk aksi yang tidak bisa dibilang main-main ini, misi menggulingkan Soeharto dari. Tahun 1998, menorehkan sejarah lembar hitam pada negeri Indonesia ini.
2019

“Sampai titik darah penghabisan!”. Kata kata itu masih terngiang sampai saat ini. Aku tak pernah berhenti bersyukur atas hidupku saat ini, menyaksikan perkembangan dari satu generasi ke generasi lain, menanamkan sikap nasionalis yang ku bungkus sedari dulu dalam benihnya. Kelak di tabur pada jiwa jiwa anak bangsa Indonesia. Pagi yang cerah, digelarlah sebuah perlombaan menulis cerita untuk tingkat SMA sederajat. Aku datang pada acara yang diselenggarakan di sebuah hotel itu, datang sebagai narasumber ulik sejarah pahlawan nasional. Dan aku, tak datang sekadar jadi seorang narasumber.
Mulai! ku mulai aba-aba itu, memenuhi seluruh ruangan memimpin perlombaan menulis cerita, sedang aku melihat seorang bocah berkeringat dingin. Ini kompetisi pikirku, semua orang berpikir dan berusaha untuk menjadi juaranya. Kira kira seperti itu. Namun lain dengan aku yang juga berkeringat dingin di sini. Mengenang sebuah tema yang ku ciptakan sendiri, tema kali ini REFORMASI.
 selesai

Penulis : Mahabatis Shoba

Ilustrasi : Freepik

Alarm yang bersua cukup riang itu memenuhi setiap sudut ruangan pribadi milikku. Suaranya terdengar sampai ke ruang tengah dan dapur. Di mana aku berada saat ini, tengkurap di sopa panjang tepat di depan televisi. Aku cukup terganggu dengan nada klasik itu, namun apalah daya pendengaranku teramat peka terhadap suara-suara bergenre 'pengganggu' tidur di pagi hari tersebut. Radarku menendang bantal sopa, mendengus panjang sebelum akhirnya memanggil lirih nama sang pemilik alarm tersebut, "Rayaa."

Percuma. Adalah satu kesimpulan yang selalu diperoleh dari keluhanku ini. Dan Raya, perempuan itu mana mungkin bangun meski ia sudah berkali-kali menyetel ulang alarm-nya.  Ia tetap terlelap di ranjangku yang empuk dengan pengatur udara yang menghangatkan tubuhnya. Bahkan, Raya tidak pernah mengasihaniku dengan berusaha mematikan alarm di ponselnya. Suara alarm, hujan dan petir sekalipun tidak berpengaruh terhadap kepulasan tidur Raya. Ia tetap terlelap. Terkadang, aku sampai hati mengomel mengenai suara itu, membangunkan Raya dan mengusirnya dari tempat tinggalku. Meski akhirnya aku tidak tega dan mengalah untuk mengantarkan ia pulang ke rumahnya.

Ketika seperti ini, aku paling benci melihat jam. Mataku masih perih, masih berat untuk dibuka dan aku menebak ini baru masuk jam kedua saat aku memutuskan untuk tidur. Tepatnya, saat ini jam enam pagi. Aku lagi-lagi membuang nafas kesal karena alarm Raya masih menyala. Dan tidurku tidak akan kembali nyenyak kalau tidak aku yang menghentikan bunyi suara menyebalkan itu. Akhirnya, aku benar-benar pergi ke kamarku dengan langkah yang gontai dan mata yang mengantuk, aku menghiraukan apapun yang ada termasuk ketidak-sadaranku tentang keberadaan Raya yang lenyap bak di telan bumi. Aku malah menghempaskan tubuhku di ranjangku. Sudah berapa lama aku tidak tidur di kamarku sendiri sejak Raya merengek padaku untuk membiarkannya menginap, kurasa hampir seminggu.

Mungkin, menghilangnya Raya kini ia pergi ke kamar mandi atau hanya sekedar menyikat gigi. Dan, aku tegaskan sekali lagi bahwa aku benci kebiasaan Raya yang tidak mematikan alarm-nya. Terserah ia mau melakukan apa di kamarku, tapi aku selalu meminta Raya agar ia mematikan alarm-nya, itu pun tidak pernah bisa ia sanggupi. Dasar payah!

Aku berhasil melanjutkan tidurku dengan bau tanah yang perlahan-lahan kuhirup kenikmatannnya. Memang, saat ini hujan sedang berlangsung di luar. Cukup deras karena setahuku bulan Oktober sudah memasuki musim penghujan. Berbahagialah bagi pengagum hujan dan rindu. Kalian akan merasakan kerinduan yang tak beralasan saat hujan turun. Tapi bagiku, setelah menarik kesimpulan dari konotasi negatif mengenai hubungan hujan dan rindu dengan orang-orang yang mengenang dua nama itu adalah suatu pengalihan kata-kata bahwa mereka semua tidak mampu mengungkapkan semua perasaan yang berkecambuk di dalam hatinya. Termasuk aku, sial! Ya, mereka tidak mengakui bahwa mereka telah kalah.

Lupakan hujan dan rindu. Karena aku baru tersadar bagaimana aku bisa menghirup bau hujan ini? Fentilasi dan jendela tidak mungkin dapat menghantarkan bau hujan seperti ini kalau dua benda itu tidak terbuka. Dan siapa yang membuka jendela balkon sepagi ini? Dengan terpaksa aku membuka mataku. Melihat Raya berada di balkon bersama hujan. Aku bangun, menggelengkan kepala dan mengucek-ucek mata. Sekali lagi aku melihat bahwa Raya benar-benar berada di balkon bersama hujan dan udara sejuk nan dingin. Aku menguap dahulu, sebelum melangkah ke arah balkon dan akhirnya mengambil jaket levis milik Raya.

Aku menyembulkan kepalaku keluar kamar, mendapatkan Raya dengan tatapan mengawang menatap pot bunga kecil yang berbunga aster cukup indah dengan warna-warni yang ada padanya. Aku berhenti berniat memarahinya di pagi hari ini, karena kudapatkan kembali Raya berwajah sedih. Tidak ada guratan kebahagiaan di mata atau bibirnya dan ia seperti itu sejak datang ke tempat tinggalku beberapa hari lalu. Dengan dalih, ayah dan ibunya sedang keluar kota, sementara ia malas berargumen dengan kakak laki-lakinya mengenai tugas akhir kuliahnya yang entah kapan selesai. Padahal aku mengetahui mengapa Raya seperti itu -yang mungkin mengakibatkan terhambatnya tugas akhir kuliah Raya- tapi tidak pernah aku sampaikan pada salah satu keluarganya. Aku menjadi bisu saat Raya menampakan kemurungannya padaku. Aku tidak pernah mampu menasehati Raya untuk bangkit dari rasa sakit hati karena dikhianati oleh sang pangerannya.

"Raya,"

Ia menoleh ketika aku memanggilnya sekali. Dengan sahutan dagu ia bertanya padaku, "Ada apa?"

"Aku rasa kamu butuh jaket, diluar dingin."

Aku menyodorkan jaketnya, ia melihatnya, tapi ia hanya diam. Gerak tubuhku memang tidak pernah menampakan bahwa aku tertarik padanya. Aku teramat cuek pada sesuatu yang menurutku bukan milikku, bukan siapa-siapa aku.

Tapi untuk Raya, dia lebih dari itu. Dia adalah perempuan yang kutemui sedang menangis setelah dipukul sang kakak karena tidak mau disuruh membeli rokok dan kopi untuk teman-teman kakaknya yang sedang main, termasuk aku. Dia adalah perempuan yang aku ketahui menyukai teman sekelasku sewaktu kuliah namun tidak pernah digubris. Dia adalah perempuan yang baru saja patah hati karena dikhianati oleh sang kekasih. Dia adalah alasanku untuk tidak pernah berkencang dengan perempuan lain. Dia adalah perempuan yang diam-diam aku sukai, aku kagumi tapi tak pernah aku kasihi. Ya, aku tidak pernah mengasihaninya. Aku selalu
bersikap cuek dan tidak tertarik padanya, agar Raya tidak mengetahui bahwa aku menyukainya.

Raya mengembangkan senyumannya, aku terpanah, namun dapat aku kendalikan gejolak dalam hatiku. "Udaranya sejuk dan dingin tapi kalau tidak memakai pakaian hangat ternyata bisa membunuh juga." katanya masih enggan melunturkan senyuman.

Aku tersinggung dengan kalimat Raya. Sepertinya ia berhasil menancapkan panah di titik hitam dalam sanubariku. Seakan-akan ia memberitahu bahwa sebuah hubungan tanpa ikatan itu tidak berarti apa-apa. Aku tersenyum getir menanggapi itu, sebelum akhirnya menjawab, "Makanya kamu pakai jaket biar ga dingin, nih." kataku menggerakan jaket di tanganku agar Raya cepat mengambilnya.

Dia diam, menatapku kosong dan malah bersuara, "Ka Evan.. Aku mau pulang."

Raya malah memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumahnya, membuatku menarik jaket levis milik Raya itu ke dalam pelukanku. Aku menatapnya sebentar, penuh penat aku mencoba memahami sikap Raya. Tak pernah bisa menyatu dengan sikap egoku yang tidak mau mengalah, sampai-sampai aku menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Ahhh.. Baiklah. Aku mau mandi dulu."

Aku, Evan Qiandra. Laki-laki yang baru saja melambaikan tangan kepada Bayu, teman sewaktu smp. Bayu adalah kakak kandung dari Raya. Usia kami sudah menginjak 25 tahun tapi kami masih betah sendiri. Masih asik dengan dunia pekerjaan dan begadang, enaknya menjadi aku dan Bayu ketika hanya tunjangan keluarga sajalah yang membebani pengeluaran bulanan gaji kami. Selebihnya, aku dan Bayu memakainya untuk bersenang-senang dan sedikit menabung. Dan saat ini Bayu sedang berdiri di depan gerbang rumahnya, sengaja menyambut aku dan Raya. Melihat sang kakak, Raya malah menunjukan wajah mendung padaku. Sepertinya Raya kesal karena aku menghubungi Bayu untuk menyambut kepulangannya. Alhasil, Raya tidak mengucapkan terima kasih dan tidak ada senyuman manis seperti biasanya. Perempuan itu langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya.

Tersisa aku dan Bayu. Kami mengobrol sedikit mengenai Raya yang menginap di apartemen milikku dan aku selaku teman baik Bayu meminta maaf karena tidak memberitahu keberadaan Raya. Dan Bayu memaklumi, ia hanya mengangguk mengerti setelah aku menjelaskan maksud Raya menginap di tempat tinggalku.

"Raya tumbuh menjadi gadis yang manja." kata Bayu memberitahuku.

"Tapi, terkadang dia juga dewasa." tambahku.

"Gue ga tahu itu."

"Karena kalian selalu bertengkar, cobalah untuk mengalah. Lo adalah seorang kakak bagi Raya, dia butuh tempat berkeluh kesah."  

Bayu diam, kemudian bicara, "Kan ada lo..."

"Gue cuman teman kakaknya, ga lebih."

"Tapi lo suka Raya 'kan?"

"Itu bukan nilai plus selama Raya cuman biasa aja ke gue."

"Payah lo! Apa harus gue yang bilang ke Raya?"

"Ngga perlu."

"Buat Raya jatuh cinta mudah kok.."

"Tapi sekarang waktunya ga tepat, Raya harus pulih dulu dari permasalahannya.."

Bayu hanya menaikan kedua bahunya kemudian menjatuhkannya dengan cepat. Bayu juga menepuk-nepuk pundakku pertanda ia selalu mendukung semua usahaku meski dengan cara salah sekali pun seperti bersikap tidak tertarik pada Raya. Entahlah, apa yang sesungguhnya terjadi. Sejak dahulu aku selalu menunggu Raya sembuh dari luka hatinya, luka-luka yang ia keluhkan saat bersamaku. Penderitaan cinta bertepuk sebelah tangan atau dikhianati kekasih itu selalu menjadi topik perbincangan aku dengan Raya. Entah sudah berapa laki-laki yang telah Raya ceritakan padaku sebagai laki-laki yang ia taksir, selama itu pula aku menahan perih di lubuk hati. Rasanya nyeri dan tidak karuan, ingin marah namun tak pernah kesampaian. Terkadang, aku bosan dengan cerita-cerita Raya tentang lakiaki yang ia taksir. Aku  mengira dengan bersikap cuek, Raya bisa menjaga jarak dan tidak bercerita lagi, tapi yang ada Raya malah menangis-nangis di depanku saat waktu berpisah dia dan kekasihnya tiba.

Berikutnya, ponselku bergetar pertanda ada pesan masuk dan itu dari Raya. Isinya sangat singkat, padat dan jelas. Hanya satu kalimat yang terdiri dari beberapa kata dan itu membuat hatiku mencelos begitu saja tanpa pembedahan terlebih dahulu. Sehingga aku dapat membayangi sedang apa Raya saat ini di dalam kamarnya.

Pesan masuk dari Raya:

"Ka Evan.. Aku benci semua laki-laki."

Kemudian, Raya mengirim pesan kembali:

"Aku benci ayah, Ka Bayu, Jeno, Ka Rafly, semuanya. Dan baru saja aku putus dengan Roy!"

Kata Raya menyebutkan nama laki-laki yang ia benci. Aku tersentak ketika Raya menuliskan kata 'semuanya' pertanda aku pun termasuk laki-laki yang dibencinya. Cukup tahu aku bagaimana perasaan Raya saat ini. Entah masalah apa sehingga ia sangat menaruh dendam pada semua laki-laki, terlebih ayah dan kakaknya. Seharusnya Raya tidak begitu, seharusnya Raya masih memberi maaf pada Ayah dan kakaknya sekalipun dua laki-laki itu teramat sering mematahkan hatinya.

Dengan sigap aku membalas pesan Raya:

"Besok kita bicara, dek. Kamu istirahat dulu, jangan memikirkan apapun."

Besoknya aku tidak bertemu dengan Raya, kucari di rumahnya ia tidak ada. Ponselnya tidak aktif dan Bayu juga tidak mengetahui keberadaan adiknya. Sudah hampir tiga bulan Raya menghilang. Aku kalang kabut dibuatnya khawatir. Kutinggalkan semua pekerjaan dan keperluan hanya untuk mencari Raya. Hingga pada waktunya tiba, teman dekat Raya menghubungiku bahwa ia melihat Raya bekerja di sebuah restaurant dan ia menjadi seorang pelayan. Pikiranku langsung bertuju untuk menemuinya, tidak berpikir untuk apa Raya bekerja sebagai pelayan? Bahkan keluarga Raya cukup mampu untuk menghidupi Raya sampai dua puluh tahun ke depan tanpa Raya bekerja sekali pun.
Aku mendatangi tempat kerja Raya tapi tidak menemuinya. Aku melihat Raya dari kejauhan, melihat bagaimana ia menjalani hidupnya selama beberapa bulan belakangan ini. Dengan kungkungan aturan yang perlu dipatuhi ia mondar mandir melayani para pembeli, menghiraukan orang-orang yang mengenalnya. Tapi Raya tidak mendapatkanku telah mengunjunginya. Malang sekali!

Aku tidak pulang. Sebaliknya, aku menunggu Raya keluar dari penjara pekerjaan yang ia buat sendiri. Raut wajahnya letih, jalannya tidak bergairah, entah kemana Raya akan merebahkan tubuh lelahnya itu. Sampai pada persimpangan jalan, Raya disambut oleh anak-anak jalanan yang meminta jatah makanan. Kisaran usia 12 tahun ke bawah, beberapa anak jalanan itu menyapa Raya. Aku jadi mengetahui alasan Raya membeli banyak bungkus nasi di warung makan sederhana tadi. Dengan beralihnya detik setelah raungan anak-anak jalanan itu Raya menarik dua sudut bibirnya. Mencoba menampakan wajah sumringah meski lelah. Kemudian, Raya menghamparkan dirinya bersama kerumunan anak-anak jalanan tersebut. Membagikan nasi bungkus dan makan bersama mereka di kolong jembatan.

Aku mengerutkan dahiku -tidak habis pikir. Maghrib menemaniku memandangi Raya dari kejauhan. Sampai sejauh ini aku masih tidak mempunyai alasan mengapa Raya memutuskan mengambil kehidupan seperti itu. Raya meninggalkan kehidupan mewahnya, menelantarkan tugas akhir kuliahnya dan membiarkan keluarganya khawatir. Ingin rasanya aku menarik pergi Raya dari sana, namun sekali lagi tidak bisa. Apalagi ketika aku melihat ada seorang laki-laki  -mungkin seusiaku- menghampiri Raya. Baik Raya dan laki-laki itu sepertinya sudah cukup akrab, mereka tersenyum ramah. Akhirnya, Raya mengajak laki-laki itu bergabung bersama mereka.

Aku tertawa sekali sebelum akhirnya menggelengkan kepalaku masih tidak menyangka. Bayu benar, untuk membuat adiknya jatuh cinta sangat mudah bahkan ia tidak perlu penawar rasa sakit untuk mengobati hatinya. Dan aku keduluan lagi dengan laki-laki entah siapa di sana, entah bagaimana latar belakangannya. Cukup puas aku mendapatkan kabar dari Raya, entah mau seperti apa Raya mendikte hidupnya. Aku sama sekali tidak mengerti, sesuka hati ia memporak-porandakan perasaanku selama ini. Terserah Raya tapi aku tetap kembali pada kehidupan normalku. Yang menunggu perempuan itu entah sampai kapan.

Suatu hari dan ini masih pagi, aku baru tidur dua jam. Suara alarm yang kurindukan terdengar, kali ini bukan berasal dari kamarku karena aku sendiri berada di sana dan tanpa kehadiran Raya. Aku acuhkan rasa kantukku, mencoba mengembalikan titik kesadaranku. Aku tidak mau ini hanya mimpi lagi, aku tidak mau Raya hanya menjadi bayang-bayangku saja. Aku hampir menjadi orang gila tanpa Raya yang sesekali mengusik hidupku. Dengan suara 'pengganggu' tidur di pagi hari itu terdengar, aku berharap Raya berada di apartemenku saat ini. Berharap, berharap, karena aku sangat merindukannya.

Aku terkesiap ketika baru saja melewati bibir pintu kamarku, mendapatkan suara alarm menyebalkan itu semakin kentara aku dengar dan Raya terkapar di sopa panjangku. Ternyata ia masih hafal kode apartementku, karena sengaja aku tidak menggantinya, aku berharap Raya datang tiba-tiba seperti saat ini. Aku menghela nafas sesak, rasanya sedikit perih mendapatkan Raya tertidur pulas di sana. Pelan-pelan aku terjatuh di lantai, tidak kuat menahan lemahnya lututku untuk tetap berdiri. Aku terjatuh di depan Raya. Diam diam mengamati wajah Raya, mencengkram semua penyesalan yang pernah dirasakan. Raya benar-benar kembali, ia mengalah dengan egoku yang tidak pernah menyerah menyakitinya. Raya mengalah!

Sulit aku mengatur nafas saat ini, ingin menangis tapi tak mau Raya pun mengetahui. Selama ini sudah cukup aku menyiksa Raya dan diriku sendiri. Aku mempertuhankan ego hingga membuat aku dan Raya saling tidak karuan merasa. Aku menyukai Raya namun gengsi untuk memperjuangkannya. Egoku selalu berkata bahwa Raya-lah yang harus memperjuangkan aku. Mudah bagi aku membuat Raya jatuh cinta karena melihat Raya pun sangat mudah pindah ke lain hati. Tapi untuk mencapai itu, Raya tidak pernah menampakkan tanda-tanda bahwa ia jatuh cinta. Hingga aku hanya bisa bersikap biasa saja padanya. Sudah cukup, aku lelah dengan egoku sendiri.

Alarm Raya berhenti dan perempuan itu tiba-tiba membuka matanya. Aku mematung tidak sanggup melakukan apapun meski hanya menghembuskan nafas. Raya menatapku heran, dahinya berkerut. Akhirnya, ia beranjak duduk seraya menguap dan kembali melihatku.

"Ka Evan?"

Panggilnya dengan nada serak. Aku menghembuskan nafas kencang, mencoba mengumpulkan energi untuk mengungkapkan perasaan yang mendominasi sejak Raya menghilang hampir dua tahun lamanya.

"Lupa kamu untuk pulang?!" tanyaku sedikit memarahi. "Tega ya kamu tidak menghubungi
ayah-ibu dan Bayu? Kemana saja, hah?" lanjutku kesal.

Raya melongo dahulu, mungkin ia terkejut karena tiba-tiba saat ia terbangun mendapatkan banyak hujatan dariku. "Aku bilangkan besok kita bicara, bukan berarti aku menyuruhmu diam dan pasrah. Aku suruh kamu istirahat, bukan malah menghilang.." jelasku mengungkit kejadian hampir dua tahun lalu. "Kamu menelantarkan skripsimu dan membuatku khawatir. Kamu sadar tidak, banyak orang yang berharap atas hidup kamu, kamu malah pergi entah kemana. Aku khawatir Raya!" tambahku mengomelinya.

Raya kali ini tersenyum, sekarang aku yang bingung. "Sudah mengomelinya?"

"Belum."

"Tapi aku boleh menanggapi kamu dulu, kaa?"

"Silahkan.."

Raya kembali tersenyum. Posisi kami masih seperti awal, Raya duduk di sopa sedang aku di lantai. Masih menengadah jika aku ingin melihat wajahnya.
"Dulu, bukan jawaban 'kita harus bicara' yang aku butuhkan. Saat aku mengirim pesan seperti itu aku ingin sekali ada yang memelukku, aku ingin berteriak, aku ingin pergi yang jauh dari rumah." katanya memulai. "Ka Bayu bukan seperti kaka yang mau memdengarkan keluhanku. Ayah dan ibu sibuk bekerja, aku benci mereka." tambahnya.

"Tapi menghilang tanpa kabar bukan alasan, Raya!"

"Selama hampir dua tahun ini, aku hanya tidak menghubungi ka Evan.."

"Apa?" tanyaku terkejut. "Apa maksud kamu?" tanyaku lagi sampai-sampai berdiri.

Raya yang sekarang menengadah, tapi dengan sigap ia memegang tanganku untuk kemudian ditariknya dan menyuruhku untuk duduk.

"Duduk kaa.."

Aku pun duduk di sampingnya.

Raya tersenyum dahulu karena aku menurut, "Ka Evan tahu.. alasanku bergonta ganti pasangan?"

Aku diam.

"Alasanku adalah kaka. Aku memutar otak bagaimana bisa aku membuat kaka cemburu, tapi ternyata kaka malah bersikap tidak tertarik padaku. Hatiku hancur ka.. mempermainkan hati banyak laki-laki.."

"Kamu bohong, kan?"

"Meskipun ka Evan meyakini bahwa itu kebohongan, tapi aku melakukannya berkali-kali dan mungkin bisa menjadi sebuah kebenaran. Dan itulah kebenarannya.. aku menyukai kaka sejak pertama kali kita bertemu. Ketika hanya satu orang yang melihatku iba saat ka Bayu memukulku karena aku tidak menurut dan orang itu adalah ka Evan."

Aku diam. Mendengar Raya bercerita keluh seperti itu seakan-akan hati dan otakku remuk seketika. Aku menyesali sikapku karena tidak pernah memahami maksud Raya selama ini. Bodoh karena terlambat mengerti. Untung saja tidak terjadi apa-apa pada Raya.
"Sekalipun kaka menyuruhku menunggu agar kita bisa bicara besok. Kaka ga pernah datang dan bicara padaku, meski aku tahu kaka sudah menemuiku, 'kan? Beruntung ka Bayu bilang kalau kaka menyukaiku juga, jadi aku tetap menunggu.'

Untuk perkataan Raya yang satu ini aku merasa sangat bersalah. Aku seperti penjahat yang memutilasi kepercayaannya. Raya diam-diam menungguku, tanpa aku ketahui, tanpa aku melihat Raya dengan rasa. Ternyata dia yang paling menderita.

"Maafkan aku, dek."

"Berdamailah dengan diri kaka, aku tidak suka kaka terlalu berpikir menggunakan ego."

"Ingatkan aku karena itu, dek."

"Aku tidak mau mendikte hidup kaka, belajarlah untuk mandiri."

"Dampingi aku, dek."

Raya tersenyum sembari menutup telinganya sepertinya ia merasa geli dengan sahutan
sahutanku.

"Selanjutnya, kamu harus wisuda."

"Aku sudah wisuda setahun lalu, aku juga sudah mengajar di sebuah sekolah."
"Serius? Aku kok gatau.. Bayu juga ga bilang sih."

"Aku pergi dari rumah juga karena diusir oleh ka Bayu, dia ga bilang juga?"

"Badjingan."